Kamis, 15 Februari 2018

My Family is Everything


Tak terasa 6 tahun lebih sudah saya jalani biduk rumah tangga bersama suami tercinta. Kami memiliki kepribadian yang berbeda, saya plegmatis sukanya santai-santai kayak di pantai, suami melankolis, segalanya harus perfect sehingga hidupnya jarang nyantai, dari sini saja keliatan kan kalau kami bertolak belakang. Tapi hidup nggak akan berwarna kalau semua orang sama, jadi ya dinikmati saja, anggaplah kami berjodoh supaya saling melengkapi. Teringat saat awal-awal menikah, kami sedang menata kamar, pas saya pasang taplak suami komentar, "kurang kanan, menceng itu." Saya turuti saja instruksinya, namun beberapa kali dibenarkan masih juga kurang presisi menurutnya. "Sudah ah, biar gini saja. Dasar perfeksionis!" ujar saya sebal. "Hahaha, akhirnya umi bilang gitu juga sama abi," kilahnya malah bangga. Sekarang kalau suami bilang, "umi bersihin donk kamarnya." Padahal kamar sudah saya bersihkan sebelumnya, maka saya dengan santai akan menjawab, "sudah bersih gini lho abii," dan terpaksa dia membiarkan walaupun dengan 'grundelan'. Begitulah akhirnya jurus pemakluman menjadi penengah bagi 'kenjomplangan' kami.


Dari abi melankolis dan umi plegmatis, lahirlah anak pertama yang sanguinis, lho kok bisa? ya nggak tau, takdir. Bisa dibayangkan saat umi mager alias malas gerak, anaknya berlarian kesana kemari melakukan berbagai eksperimen mulai dari mencampurkan parfum ke dalam gelas air minum neneknya (bisa dibayangkan tragedi selanjutnya), sampai membuat adonan kue dari bedak dicampur cat air, bahan craft sayapun tidak selamat menjadi bahan eksperimennya (ini bikin nangis, soalnya itu bahan-bahan mahal, hiks). Tembok rumah tak pernah bersih dari coretan, ketika tembok kamar sudah penuh semua, maka dia akan beralih ke tembok ruang tamu, tentunya berakhir dengan omelan neneknya. Sesantai-santainya saya tetap saja masih bisa stress kalau rumah persis kapal pecah, ketika mainan sudah dibereskan tidak membutuhkan waktu lama akan berantakan lagi. Akhirnya sayapun memilih tutup mata sambil melanjutkan nonton drama Korea, terserahlah nak, selama tak berbahaya lanjutkan saja kreasimu biar kau jadi anak kreatif (alasan). Lho bener kan, katanya creativity is messy, and my child is very creative ;).


Anak kedua saya masih bayi usia 3 bulan, tentunya kami belum tahu kepribadiannya karena masih belum polah. Doa adik saya, "semoga saja Hanna nanti gak kayak Fidza." "Kenapa?" tanyaku. "Tak bisa kubayangkan pusingnya jika dua anak ini nggak bisa diam semua," akupun tertawa getir sambil mengaminkan dalam hati. Salah satu hobi Fidza sejak ada Hanna adalah 'menguwel-uwel' si adik dengan gemasnya sampai tahap mengkhawatirkan, sayapun mengingatkannya agar memperlakukan adik dengan lembut. Tapi namanya anak makin diingatkan makin dilakukan, sehingga ketika saya 'meleng' sedikit, maka adiknya akan menjadi korban kegemasan kakaknya. "Kamu kira adikmu itu boneka ta?" tanyaku suatu hari pada Hafidza. "Iya habis Hanna lucu sekali," jawabnya innocent. Sayapun mencoba memberi pengertian, namun tetap saja kejadian yang sama berulang, inhale, exhale, sabaaar sabaaarrr. Segala pergumulan dengan bocah-bocah yang membutuhkan kesabaran ekstra ini menjadikan saya sering mengangkat bendera putih sambil melambai ke kamera, eh sambil bilang hayati lelah bang, hayati butuh piknik!

#INICERITAKOMEDIKU #Tantangan3 #Onedayonepost #ODOPbatch5

2 komentar: