Kamis, 26 April 2018

Perjalanan Hidupku (part 8)



Yanti teman sebangkuku, dia adalah anak yang menyenangkan, sejak pertama kali berkenalan aku terkesan padanya. Untuk anak seumuran kami, dia tergolong bijak dan sangat dewasa. Dia mampu berbaur ke semua kawan-kawan kami sekelas, pun ketika mulai ada geng-geng di kelas kami. Ya, pada akhirnya kelas kami yang sangat ramai akan terkotak-kotak menjadi kelompok-kelompok geng. Ada geng anak-anak ramai yang diisi dengan anak-anak gaul dan suka ngrumpi, ada juga geng anak-anak pintar, yang cenderung pendiam tapi nyaman dengan lingkarannya. Bagaimana denganku? Aku adalah anak pendiam yang tidak termasuk dalam geng manapun. Aku lebih nyaman berdua dengan Yanti, dia suka bercerita, aku suka mendengarkan, maka kloplah kami. Meskipun Yanti tidak melulu bersamaku, dia yang pandai berbaur juga sering bercengkerama dengan teman-teman lainnya. Entah kenapa sejak dulu masalah utamaku adalah susah mencari tema ngobrol dengan orang lain. Jika aku merasa tidak ada tema yang bisa dibicarakan, maka aku memilih diam, dan hal itu membuat orang-orang kurang nyaman bersamaku. Tapi berbeda dengan Yanti, ada saja tema yang kami bicarakan, bahkan drama Taiwan Meteor Garden yang sedang hits di masaku bisa menjadi bahan obrolan seru, kamipun tertawa-tawa berdua.

Salah satu kelebihan Yanti yang sangat patut untuk diteladani adalah kerajinannya dalam belajar. Ya, kawan sebangkuku ini sangat rajin dan pantang menyerah untuk selalu berprestasi. Karena usahanyalah dia bisa meraih rangking satu hampir tiap semester, sedangkan aku mengekor di rangking tiga atau malah lebih buruk dari itu. Prestasi terbaikku selama SMP adalah rangking dua di kelas, itupun hanya sekali. Pernah aku mendapat rangking terburuk sepanjang sejarah hidupku, yakni rangking tujuh, akupun menangis sejadi-jadinya di kelas ketika teman-teman sudah pulang, puas menangis baru aku pulang. Lebay ya? Haha.. Begitulah anak muda yang masih belia, masih memiliki idealisme dalam hidupnya. Aku suka dengan diriku yang berambisi untuk berprestasi, setidaknya itu modal untuk sukses versiku. Orang tuakulah yang menjadi bahan bakar semangatku, yang kedua adalah Yanti yang selalu mengajakku untuk berlomba-lomba agar lebih baik. Pernah suatu pagi aku pergi ke rumahnya agar bisa berangkat bersama, kebetulan itu adalah saat ujian sehingga masuknya agak siang. Saat aku tiba di sana ternyata Yanti masih belajar, aku yang sudah merasa cukup dengan sekali mengulang materi yang diujikan jadi malu dengannya yang tak berhenti belajar hingga seluruh materi menempel di kepalanya. Pernah juga ketika diberi tugas menghapal oleh guru agama, dua buah ayat yang satunya pendek, dan yang satunya panjang. Aku yang merasa puas dengan menghapal ayat yang pendek, oleh Yanti disemangat dan diajak untuk terus berusaha menghapal ayat yang panjang dengan terus diulang-ulang, dan akhirnya kami pun hapal. Aku terpesona saat itu, ternyata jika kita mau sedikit memaksa diri untuk berusaha, sesungguhnya kita mampu meraih sesuatu yang sebelumnya kita anggap mustahil dapat kita lakukan.

Satu lagi hal yang mengagumkan dari sahabatku ini adalah kemampuannya bernyanyi. Suaranya indah bagai seorang diva, dia berbakat ditambah lagi orang tuanya memfasilitasinya les vokal sehingga suara emasnya makin terasah. Ketika ada acara di sekolah, Yanti sering didapuk untuk mengisi salah satu sesinya. Suaranya yang begitu merdu bergema di seantero sekolah membuat siapapun akan terlena dengan keindahan suaranya. Aku sering diajaknya bernyanyi bersama, awalnya tentu saja aku menolak karena aku sadar akan kemampuanku dalam olah vokal. Namun bukan Yanti namanya kalo menyerah begitu saja, dia akan merayuku lantas mengajariku untuk membuat suara satu dan dia yang membuat back sound dengan suara tiga yang merdu, dengan cara itu suara cemprengku tertutupi dengan suara merdunya, hihi. Salah satu lagu favorit kami adalah lagu Sahabat Sejati oleh Sheila On Seven :

Sahabat Sejatiku
Hilangkah dari ingatanmu
Di waktu kita saling berbagi
Dengan kotak sejuta mimpi
Aku datang menghampirimu
Kuperlihatkan semua hartaku
Kita slalu berpendapat
Kita ini yang terhebat
Kesombongan di masa muda yang silam
Aku raja kaupun raja
Aku hitam kau pun hitam
Arti teman lebih dari sekedar materi
Tu..wa..ga..pat
Reff:
Pegang pundakku jangn pernah lepaskan
Bila ku mulai lelah
Lelah dan tak bersinar
Pegang sayapku jangan pernah lepaskan
Bila ku mulai terbang
Terbang meninggalkanmu
Wo o o..woo oo oo oo

Pada suatu hari saat pelajaran seni rupa, “Cha, gambarmu bagus sekali, aku sering memperhatikan saat kau membuat gambar ketika pelajaran seni rupa. Mungkin kau punya bakat melukis, kenapa tak kau kembangkan bakatmu?” kata Yanti padaku. “Ohya? Mungkin bakat ini menurun dari bapakku, beliau bisa membuat lukisan yang indah sekali. Tapi untuk mengembangkannya..” aku terdiam sejenak. “Kenapa?” tanya Yanti penasaran. “Keluargaku sangat sederhana, bisa sekolah di sekolah favorit ini saja aku sudah sangat bersyukur. Aku takut jika aku meminta macam-macam seperti les menggambar justru akan membebani pikiran orang tuaku,” ujarku dengan nada sedih. “Hmm, aku paham. Tapi untuk mengembangkan bakat kita tidak harus dengan les kok, bisa juga dengan otodidak,” ujar Yanti optimis. Akupun tersenyum, walaupun dalam hati bertanya-tanya, jika bukan dengan les, lantas bagaimana? Pada akhirnya aku hanya bisa menggambar untuk mengerjakan tugas, menikmati lukisan-lukisan yang dipajang saat ada pameran, dan sesekali membuat lukisan sendiri jika sedang memiliki waktu luang. Butuh fokus untuk menyemai sebuah bakat agar mekar berseri, dan aku kekurangan sarana pendukung serta fasilitas untuk mengembangkan bakatku. Tugas sekolah, belajar untuk ujian, dan serangkaian kegiatan organisasi telah menguras perhatianku, dan di sisa waktuku kugunakan untuk refreshing atau istirahat. Keinginan untuk bisa mengembangkan bakat pun lama-lama menguap begitu saja.


#KelasFiksi
#ODOPBatch5

Sabtu, 21 April 2018

Perjalanan Hidupku (part 7)


Dini hari itu aku terbangun sebelum adzan subuh berkumandang, segera kuambil handuk dan bergegas mandi meskipun hawanya masih sangat dingin. Sambil menggigil kubersiap mengenakan seragam, begitu terdengar adzan aku segera menunaikan shalat. Agar tak lemas nanti di sekolah kusempatkan sarapan beberapa suap nasi lauk telur. Begitu semua siap, aku segera berpamitan kepada nenek dan berangkat dengan jalan kaki menuju jalan raya sekitar 300 meter dari rumah nenekku. Saat itu di luar masih gelap dan jalan sangat sepi, aku berlari-lari kecil ketika melewati jembatan tanpa penerangan. Jalanku sudah mirip orang lomba jalan cepat, bagaimanapun juga ada rasa takut menyesap dalam hati. Hingga akhirnya sampai juga aku di pinggir jalan raya, di depan gang ada sebuah masjid besar dengan penerangan yang cukup sehingga aku memilih berdiri di seberangnya untuk mengusir rasa was-was. Tak perlu menunggu lama hingga sebuah angkutan umum lewat di depanku, sebenarnya angkutan umum itu sudah banyak terisi penumpang yang akan berangkat bekerja di pabrik Gudang Garam, namun pak kernet masih saja memaksakan penumpang untuk berhimpitan agar bisa mengangkut lebih banyak. Aku pasrah saja dihimpit oleh penumpang lain yang rata-rata adalah ibu-ibu. Walaupun harus berhimpitan, aku bersyukur laju kendaraan umum itu cukup cepat sehingga aku tak perlu khawatir terlambat.

Perjalanan memakan waktu sekitar setengah jam, aku segera turun setelah membayar tarif yang terbilang murah untuk anak sekolah sepertiku. Kulihat halaman sekolahku lengang, apa aku kepagian? Ah aku hanya perlu masuk untuk memastikan, segera saja kulangkahkan kaki melewati halaman sekolah menuju kelas 1 E yang letaknya di belakang. Ternyata sudah banyak temanku yang datang, dan mereka disuruh berbaris di depan kelas. “Hai, kamu jangan santai-santai, ayo cepat berbaris!” tiba-tiba seorang senior berteriak kepadaku, akupun segera berlari menuju barisan. Wajah teman-teman sekelasku yang belum semua kukenal, terlihat ketakutan, begitupun aku mulai merasa tak nyaman. Aku melihat sekeliling, para siswa baru berbaris di depan kelasnya masing-masing, belum banyak yang datang karena memang ini belum menunjukkan pukul enam sebagaimana instruksi yang diberikan senior di hari sebelumnya. Satu per satu kawan-kawanku berdatangan disambut teriakan agar segera berbaris dan menggunakan perlengkapan yang sudah diinstruksikan. Begitu pukul enam, para senior mulai semakin garang, teriakan mereka menggelegar bagaikan singa lapar. Kawan-kawanku yang terlambat diminta membuat barisan baru dan disana mereka diomeli dengan berbagai kata-kata kasar. 

Melihat pemandangan ini jantungku berdetak tak karuan, kepala berdenyut-denyut demi mendengar teriakan yang saling bersautan. Para senior mulai mencari-cari kesalahan, mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki, tak ada yang luput dari pandangan mereka.
“Lihat baju yang kau kenakan! Rok di atas lutut begini, mau jadi apa kau, hah?!” semprot seorang senior perempuan kepada salah satu teman sekelasku. Yang diteriaki tentu saja mengkerut takut, ada beberapa yang masih bisa menjawab begitu mendapatkan bentakan di sebelah telinganya, ada juga yang mendadak bisu. Jika mulut tertutup rapat maka akan disusul bentakan selanjutnya, “kamu bisu ya? Kenapa tak menjawab pertanyaanku?!” dan jika yang ditanya masih diam saja, maka runtutan bentakan selanjutnya akan berhamburan menggedor-gedor gendang telinga. Berbagai macam subjek yang mereka jadikan bahan omelan, ada yang karena rambut gondrong, ada karena lupa membuat keplek, ada yang karena sepatu, dasi, dan banyak hal lagi. Dalam hati aku berpikir, untuk apa semua ini? Jika untuk membuat disiplin apa harus seperti ini? Mental apa yang akan terbangun dengan bentakan dan cacian macam ini? Apa tak ada cara lain?

“Hai, kamu melamun ya?!” tiba-tiba sebuah bentakan diarahkan kepadaku, membuyarkan pikiranku. Duh, salah apa aku? “Lihat saya! kamu sedang mikirin apa, hah?!” Tanya senior laki-laki yang sudah berdiri tepat di depanku. “Tidak, tidak ada, Kak,” jawabku tergagap. “Temanmu dibentak-bentak kau diam saja. Kamu nggak ingin membela mereka?” sebuah pertanyaan menggelitik diajukan kepadaku. Haduh, aku harus bagaimana? Apa aku harus jadi pahlawan kesiangan yang menyelamatkan satu per satu temanku? Aish siapa aku? “Ingin, Kak!” duh, aku ngomong apa? Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Dan selanjutnya akupun menuju salah satu kawan yang sedang diomeli habis-habisan oleh seorang senior. Kucoba beradu argumentasi demi menyelamatkan kawanku, dan kulihat ada beberapa kawanku yang bernasib sama. Dan kejadian absurd macam ini berlanjut hingga kami semua dikumpulkan kembali untuk berbaris di depan kelas masing-masing. Aku menghela nafas lega, setelah berbaris kamipun diminta masuk ke kelas, menduduki bangku masing-masing.

Kuedarkan pandangan ke sekeliling kelas yang akan menjadi tempat belajarku selama setahun ke depan. Sebagaimana kelas pada umumnya, ada bangku panjang yang berjajar di sertai dua kursi di belakang setiap bangku. Karena aku termasuk bertubuh tinggi maka aku diletakkan di bangku belakang agar tidak menutupi kawan-kawanku jika kududuk di depan. Seorang kawan perempuan duduk di sampingku, kami berkenalan, namanya Yanti. Kami mengobrol singkat sebelum seorang senior memberikan instruksi di depan kelas, memperkenalkan lingkungan sekolah kami. Aku menyimak dengan antusias, bagaimanapun juga akan kuhabiskan tiga tahun masa hidupku belajar di sekolah ini. Ah, aku tak sabar lagi!

#KelasFiksi
#ODOPBatch5

Selasa, 17 April 2018

Balasan Surat Cintaku



Saat itu dia baru pulang kantor, setelah selesai bersih diri saya iseng bertanya, "sudah baca surat cinta umi di status fb?” aku merujuk pada tulisan yang berjudul 'Being in love with you'. Suami menjawab, “sudah,” lalu saya bilang, “bales donk.”
Suamipun berkata “Tak jawab gini aja ya, terima kasih sayang”
“Gak mauu, awas ya kalo gitu doang jawabnya” tukas saya. “Pokoknya harus bikin surat cinta panjang kayak suratnya umi!” tambah saya sambil menggigit tangannya karena gemas, disambut tawa gelinya dan wajah meringis karena sakit.

Hari demi hari surat cinta tak kunjung berbalas, saya pun menyampaikan kegalauan di grup matrikulasi IIP yang memberikan tugas menulis surat cinta pada suami dan meminta balasannya. Setelah sharing dan melihat berbagai macam tanggapan para suami atas surat cinta istrinya, maka saya menyadari bahwa memang benar wanita dari venus dan pria dari mars. Tentu saja ini hanya perumpamaan, karena pada umumnya suami sangat hemat dalam berkata-kata, pun dalam bahasa tulisan. Hanya seribu satu yang bisa mengungkapkan keinginan dan perasaan dengan rangkaian kata atau tulisan yang panjang. Dan suami saya termasuk dalam seribu laki-laki yang miskin kata-kata.

Baiklah, saya mulai bisa menerima kenyataan hingga saya teringat satu hal.
Sehari setelah saya buat surat cinta untuk suami saya, tiba-tiba dia berkat, “Umi, kapan hari kan abi menawarkan mau ikut abi seminar di Jakarta atau Bandung. Insyaallah kita jadi ke Bandung.” “Waa...yeaay,” ujar saya girang bukan kepalang.
“Abi tau umi suka jalan-jalan, kalau ke Jakarta paling ya gitu-gitu saja, makanya abi pilih ke Bandung,” tambahnya.
Ah so sweet... Suami saya memang tidak pandai berkata-kata, tapi dia selalu sukses menunjukkan cinta dengan perbuatan yang membuat saya kembali jatuh cinta padanya lagi dan lagi... Alhamdulillah :)

#kelasFiksi
#ODOPbatch5

Senin, 16 April 2018

Meraup Hikmah dari Kisah Ashabul Kahfi


Dalam kisah ashabul kahfi, diceritakan tentang beberapa pemuda yang berusaha mendakwahi penguasa dan rakyat di sekitarnya yang sudah terwarnai dengan maksiat dan dosa. Penolakan demi penolakan mereka alami hingga suatu hari mereka bersepakat untuk bertemu di sebuah gua untuk melakukan syuro, dan disanalah mereka ditidurkan oleh Allah selama ratusan tahun. Saat mereka terbangun mereka mendapati rakyat yg dulunya tenggelam dalam dosa kini telah diganti Allah dengan rakyat yang  berperadaban Islami. Para pemuda inipun terpesona akan kuasa Allah yang menidurkan mereka lantas membangunkan dalam kurun waktu ratusan tahun.

Hikmah dalam kisah ini adalah, dalam hidup ini ikhtiar kita sebenarnya hanya berpengaruh 1% terhadap hasil, sisanya yg 99% adalah kehendak Allah. Maka dimanakah posisi kita saat ini? Apakah kita sudah mengambil peran kebaikan walau hanya satu ayat? Sudahkah kita menghamba kepada Allah sehingga kita diselamatkan dari fitnah yg meliputi akhir zaman ini?

Sungguh sesuai janji Allah, sangat mudah bagiNya memenangkan agama Islam. Hanya dengan bersabda "Kun", maka luluh lantaklah para penguasa tiran, para penista Islam, para pembangkang, dan orang-orang munafik yang menutup matanya dari kebenaran. Yang menjadi tugas kita hanyalah berikhtiar semampu kita untuk menyampaikan kebenaran dan menegaskan dimanakah keberpihakan kita. Pada tentara Allah (hisbullah) atau tentara syaiton (hisbussyaiton). Semoga kita senantiasa berada dalam iman dan Islam hingga hayat menjemput. Apakah Islam akan jaya saat kita masih hidup atau jauh setelah kita mati itu bukan lagi menjadi tugas kita. Setidaknya kita sudah berusaha meletakkan satu pondasi batu kemenangan Islam, itu sudah cukup. Semoga Allah meridhoi kita dan memasukkan kita dalam jannahNya. Aamiin..

#KelasFiksi
#ODOPBatch5

Perjalanan Hidupku (part 6)


“Tugas Deskripsi dengan kata kopi, rumah, dan kenangan”


Di sebuah lapangan sekolah yang luas, wajah-wajah optimis penuh harapan berkumpul, berbaris dengan teratur. Di depan podium kepala sekolah memberikan sambutan dan petuah kepada para siswa baru yang diterima di sekolah yang beliau pimpin. Baris demi baris siswa baru dikumpulkan sesuai dengan kelasnya. Aku berada di barisan kelas 1 E, karena tubuh jangkungku, aku berdiri di bagian paling belakang. Entah mengapa panas yang terik tak terasa, mungkin karena kegelisahan di hari pertama sekolah menjadikan berdiri selama hampir setengah jam di bawah panasnya mentari justru memacu semangatku. Dengan hati berbunga-bunga kusimak penuturan panjang lebar oleh kepala sekolah. Aku tak sabar memulai hari demi hari sebagai seorang murid SMP Negeri 1 Kediri. Selama dua pekan ke depan kami akan menjalani Masa Oriestasi Siswa (MOS). Kegiatan MOS kami akan dipandu oleh kakak-kakak OSIS yang akan memperkenalkan lingkungan sekolah serta memberikan arahan tentang organisasi-organisasi yang ada di SMP 1. Keesokan harinya kami diminta datang pukul 06.00 dan tidak boleh terlambat, jika terlambat kami akan kena sanksi. Aku sempat bingung bagaimana caranya agar bisa sampai sepagi itu di sekolah. Saat pulang sekolah aku dijemput ibu dan diajak ke kantornya sambil menunggu waktu pulang ibu sekitar jam empat sore. Lantas ibu mengajakku makan di kantin terlebih dahulu, perutku yang sudah berbunyi sedari tadi seolah bersorak karena akan segera terisi.

“Bu, aku besok harus sampai di sekolah pukul enam pagi,” ujarku sambil memakan sepiring gado-gado yang terasa begitu nikmat.
“Ohya? Pagi sekali. Kalau berangkat dari rumah jelas tidak memungkinkan akan sampai sepagi itu. Apalagi ibu harus menyiapkan kedua adikmu terlebih dahulu,” jawab ibu sambil menyeruput secangkir kopi kesukaannya.
“Jadi bagaimana donk?” tanyaku dengan mulut penuh.
“Kalau ngomong makanannya ditelan dulu! Hmm, gini aja, kamu malam ini tidur di rumah nenek. Lalu besok pagi kamu berangkat setelah shalat shubuh naik kendaraan umum. Kan rumah nenek tak jauh dari jalan yang dilewati kendaraan umum,” usul ibu.

Akupun membayangkan harus berjalan menuju jalan raya di saat hari masih gelap, karena rumah nenek masih berjarak sekitar 300 meter menuju jalan raya. Setelah naik kendaraan umum pun masih memerlukan waktu sekitar satu jam menuju sekolahku. Tapi memang itu adalah solusi terbaik, mengingat rumahku berada di pelosok desa yang tak terakses kendaraan umum.
“Baiklah bu, kurasa itu solusi paling memungkinkan,” ujarku kemudian kepada ibu.

Sore sekitar jam empat kami menjemput adikku yang menunggu di rumah kos keluarga kami dulu. Kami sudah menganggap ibu kos sebagai keluarga sendiri, aku memanggil beliau mbah Katang. Mendatangi rumah yang tak jauh dari tempat ibuku bekerja ini membangkitkan kenangan masa kecilku yang kuhabiskan di salah satu kamar rumah ini. Bagus, adikku berangkat bersama denganku dan ibu dari rumah kami di desa, lantas sepulang sekolah menuju rumah mbah Katang sambil menunggu ibu pulang kerja. Sesampainya di sana, mbah menyambut kami lantas mengobrol dengan ibu. Aku ikut menonton Bagus yang sedang asyik bermain game play station bersama cucu mbah. Tak berapa lama kemudian kamipun berpamitan lantas berkendara pulang. Sesampainya di rumah menjelang maghrib kami bersih diri, shalat lalu makan malam. Akupun mempersiapkan seragam dan barang-barang yang perlu kubawa besok ke sekolah. Malam itu juga ibu mengantarku ke rumah nenek yang berjarak sekitar lima kilometer dari rumahku.

“Nenek, aku datang”, ujarku disambut nenekku senang, aku adalah cucu pertama nenek sehingga beliau begitu menyayangiku.
“Wah cucu nenek datang, malam ini bobok di sini ya?” tanya beliau.
“Iya Nek, soale besok aku harus berangkat subuh,” ujarku menjelaskan.
“Wah, berangkat subuh? Kenapa harus sepagi itu?” tanya nenek keheranan.
“Biasa Bu, begitulah pengkaderan awal masuk sekolah,” jelas ibuku singkat.
Kamipun bercengkerama sejenak, lantas ibuku berpamitan pulang karena hari sudah malam. Perjalanan dari rumah nenek ke rumahku banyak melewati sawah-sawah yang gelap jika malam, ibu takut jika kemalaman. Aku menatap ibu yang memacu motornya pulang, kubayangkan betapa lelahnya harus memacu kendaraan pulang pergi dari desa ke kota setiap hari, belum lagi jika kurepotkan dengan urusan sekolah sebagaimana hari ini. Aku hanya bisa mendesah dalam hati, semoga Allah senantiasa memberikan kesehatan bagi ibu. Aku tak mampu membayangkan bagaimana hari-hariku jika tak ada beliau. Nenek mengajakku masuk ke dalam rumah untuk istirahat, bagaimanapun besok aku harus bangun sepagi mungkin agar tak terlambat sampai di sekolah.


#TantanganDeskripsiDengan3Kata
#KelasFiksi
#ODOPBatch5

Sabtu, 14 April 2018

Menjadi Tua dan Ditinggalkan by Me



Untuk menyelesaikan tantangan RCO tahap 2 saya diwajibkan membaca buku fiksi dengan tebal minimal 200 halaman. Saat saya mencari di koleksi buku milik suami di rak depan, ternyata kebanyakan adalah non fiksi. Ada beberapa fiksi namun yang tebal-tebal adalah buku yang sudah pernah saya baca. Tinggal novel-novel tipis yang halamannya kurang dari 200, tidak sesuai dengan prasyarat tantangan RCO. Namun di antara tumpukan itu ternyata ada satu buku, yang ternyata adalah milik almarhum budhe suami. Novel berjudul 'Menjadi Tua dan Terpinggirkan' ini memiliki sampul yang gelap dan terkesan mistis, jadi jikalau ada novel lain yang memenuhi syarat mungkin saya tak akan meliriknya. Namun novel ini satu-satunya yang tersisa. Akhirnya saya memutuskan untuk mulai membacanya. Dan setelah huruf demi huruf, berlanjut dengan untaian kata dan kalimat saya baca satu per satu, saya mulai menikmati kisah yang diangkat dalam novel ini.

Tokoh utama novel ini adalah tuan Laman, seorang kaya raya yang memasuki masa tuanya. Tuan Laman dengan pemikirannya yang sangat mendalam terbiasa menulis kenangannya dalam sebuah diary. Gaya cerita yang diangkat dalam novel ini sarat akan pemikiran dalam ilmu psikologi sehingga menambah khazanah pengetahuan pembaca. Ditambah dengan puisi-puisi melankolis yang menambah sisi dramatis cerita mampu menyihir pembaca. Saya larut dalam cerita sehingga sempat menangis membayangkan bagaimana jika sosok tuan Laman masuk dalam kehidupan saya.

Dikisahkan dalam novel ini sejak serangan stroke menimpa tuan Laman di awal masa pensiunnya, segala kehidupannya yang sempurna berbalik 180 derajat. Anak-anaknya tidak cukup sabar merawat ayahnya yang tua dan merepotkan dikarenakan sakitnya. Akhirnya anak-anak tuan Laman memutuskan untuk menitipkan tuan Laman di dalam panti jompo. Merasa terbuang, itulah pikiran utama dari tokoh tuan Laman. Perasaan ingin segera mati saja dan penyesalan-penyesalan yang dikemas dalam flashback kisahnya sejak masih muda hingga berumah tangga dan mulai mendidik anak-anaknya. Tuan Laman mengkisahkan cerita hidupnya kepada seorang perawat putus asa yang memiliki fisik buruk rupa dan hampir saja bunuh diri karena tak diterima bekerja di mana saja. Tuan Laman melihat dan sempat berbincang dengannya saat akan melamar sebagai perawat di panti jompo Old is Never Die tempat tinggalnya.

Dengan pengaruhnya tuan Laman membuat perawat yang bernama Safira itu menjadi perawat pribadinya. Safira yang sejatinya hendak melompat dari balkon rumah sakit untuk mengakhiri hidupnya, mendapat telpon bahwa diterima bekerja di panti jompo Old is Never Die sesaat sebelum lompat bunuh diri. Dan diapun menjadi kawan serta pendengar setia atas kisah tuan Laman yang ternyata memiliki kisah memukau sejak masa kecilnya. Inti dari kisah hidupnya adalah bahwa ada kesalah pahaman yang terjadi antara tuan Laman dan anak pertamanya, Malaya. Malaya yang jatuh cinta terhadap seorang pemuda yang dikenalnya dari internet. Malaya dibutakan oleh cinta ketika sang pemuda mengirimkan puisi-puisi romantis kepadanya. Malaya terhipnotis dan mulai membangkang terhadap orang tuanya yang mendidiknya dengan keras. Dia yang selama ini terkekang dengan berbagai peraturan yang dibuat oleh ibunya, ingin agar orang tuanya tidak turut campur dalam kehidupan cintanya. Dan kenyataan berkata lain ketika dia bertemu sosok yang dipujanya, ternyata dia adalah seorang pria kerdil. Namun karena rasa cinta yang buta, Malaya iba dan mengenalkan si pria kepada orang tuanya. Sontak orang tua yang ingin hal terbaik kepada anaknya itu menolak dan mengusir si pria kerdil. Dan tak lama kemudian kekasih Malaya ini meninggal karena kanker yang diidapnya. Malaya sedih dan menyalahkan orang tuanya kenapa tak mampu memahami dirinya, Malaya dendam dan ingin memberikan perhitungan kepada orang tuanya suatu hari nanti.

Istri tuan Laman meninggal delapan tahun sebelum masa pensiunnya tiba. Dan saat dia sedang berbaring di rumah sakit, anak-anaknya berkumpul lantas berkata bahwa mereka lelah mengurus ayahnya yang lumpuh. Namun mereka juga ingin agar ayahnya tetap hidup sehingga bisa menandatangani surat warisan untuk mereka. Tuan Laman diobati hingga sembuh, namun kemudian ditelantarkan di panti jompo. Belakangan diketahui bahwa otak dari itu semua adalah Malaya yang menyimpan dendam kepada orang tuanya. Melalui Safira tuan Laman memintanya untuk menemui Malaya dan menyampaikan pesannya. Namun Malaya tetap bersikeras tidak mau menemui ayahnya. Safira pun kembali ke panti jompo tempatnya bekerja, menemui tuan Laman yang hampir saja bunuh diri. Ketika Safira datang, dia berkata pada tuan Laman, dialah yang akan menemaninya hingga malaikat maut menjemputnya suatu hari nanti. Tuan Laman yang sejatinya ingin menyerah pada hidup pun menangis tertunduk dan mulai menjalani hari-harinya di panti jompo tanpa beban. Memang di akhir cerita tuan Laman terkena penurunan daya ingat yang membuatnya lupa bahkan kepada dirinya sendiri. Namun setidaknya dia memiliki orang yang bersedia merawatnya dengan tulus, yakni Safira perawat buruk rupa yang telah mengetahui semua masa lalunya dan berjanji akan menjaganya hingga maut menjemputnya.

Di RCO saya diminta memilih salah satu tokoh dan bagaimana apabila tokoh itu ada dalam kehidupan saya. Maka saya akan menarik tuan Laman ke dalam kehidupan saya. Saya juga seorang anak sulung yang dididik cukup keras oleh orang tua saya. Bedanya orang tua saya memberi penekanan mengenai hubungan dengan lawan jenis, saya tidak diperbolehkan pacaran dan belakangan saat saya semakin memahami Islam, saya yakin bahwa pacaran memang tidak diperkenankan dalam agama saya. Alhamdulillah saya tak pernah melawan kepada orang tua hanya karena cinta buta yang sejatinya belum tentu akan menjadi jodoh saya kelak. Jika bapak saya memiliki usia panjang seperti tuan Laman, saya akan merawatnya sepenuh hati. Memang bapak juga keras terhadap saya sebagaimana cara mendidik tuan Laman dan istrinya kepada anaknya. Walaupun ada memori buruk saat bapak pernah sekali menampar saya karena kebandelan saya tak mau mematikan televisi demi menonton drama korea kegemaran saya. Satu memori itu telah tertutup dengan ratusan atau bahkan ribuan jasa bapak dalam hidup saya yang saya ukir dalam sanubari saya. Saya mencintai bapak, saya sangat menyayanginya. Dialah cinta pertama saya, cinta anak kepada orang tuanya. Jika bapak diberi umur panjang, meskipun dia sakit parah saya akan tetap merawatnya dengan sepenuh hati. Saya yang seorang ibu rumah tangga, akan memiliki banyak waktu merawat bapak walaupun diselingi merawat anak-anak dan mengurus rumah tangga. Jika tuan Laman adalah bapak saya, saya tak akan memiliki pikiran untuk meninggalkannya di panti jompo. Saya akan merawatnya sendiri dengan tangan saya, dengan penuh kasih sayang. Kasih sayang anak yang tidak ada seujung kuku dari segala cinta dan pengorbanan orang tua. "Segala yang bapak lakukan, sejatinya hanyalah demi anak-anak bapak," kalimat cinta yang sering dinyatakan bapak kepada kami anak-anaknya, begitu kuat terpatri dalam memori saya. Saya mencintaimu bapak, saya merindukanmu. Allahummafighrlahu warkhamhu wa aafihi wa'fuanhu. Semoga Allah beri tempat terbaik di alam kuburmu bapak, semoga Allah beri nikmat kubur kepadamu, dan semoga kelak Allah pertemukan kita di jannahNya, aamiin.

#Tantangan2
#RCO'3
#ODOP

Jumat, 13 April 2018

Mampir di Blog Kecenya Mbak Nia


Saya adalah seseorang yang sangat newbie dalam dunia kepenulisan. Segala ilmu dan atribut di kelas literasi pun menjadi hal baru dalam memori saya. Salah satu ilmu baru yang saya dapat ketika bergabung di ODOP adalah bahwa sangat penting  mendokumentasikan karya kita dalam sebuah blog. Saya yang lebih dulu mengenal sosial media seringkali menuangkan uneg-uneg dalam status. Tanpa saya sadari status-status saya semakin menumpuk sehingga catatan-catatan yang berharga seringkali hilang dan sulit diakses lagi. Setelah mendapat materi pentingnya blog, sayapun mulai menggali tulisan-tulisan saya dalam status di sosmed. Dan tak disangka ada banyak tulisan bermakna yang layak untuk diabadikan dalam blog. Bagaikan mendapat harta karun, saya segera mengumpulkan tulisan demi tulisan untuk diposting dalam blog saya.

Di RCO tahap ini kebetulan saya mendapat tugas bonus mereview blog milik mbak Nia Indriani dengan alamat penakayyisajasmine.blogspot.co.id. Karena tidak banyak pengetahuan saya dalam dunia preblog-an maka review akan saya tulis dari kacamata saya sebagai aeorang newbie. Sebelumnya saya meminta maaf kepada mbak Nia jika dirasa review saya sangat dangkal dan belum menyentuh detail konten blog yang mungkin terlewat. Apalagi sejauh ini saya belum melakukan perbaikan di blog saya sehingga masih amburadul dan otomatis saya belum mengerti konten apa saja yang sebenarnya bisa dimaksimalkan untuk membuat blog semakin menarik.

Langsung saja, jika diamati blog mbak Nia terkesan simple dan mudah untuk dijelajahi isinya. Pengunjung akan mendapati tampilan sederhana dengan cuplikan tulisan yang bisa dibaca lebih lanjut dengan menekan link tulisan baca selengkapnya. Dengan fitur ini blog mbak Nia jadi lebih rapi dibanding blog pemula seperti saya yang masih menampilkan seluruh tulisan di setiap postingan. Di sebelah tulisan baca selengkapnya juga menampilkan jumlah komentar dalam postingan tersebut. Bagi penulis pemula, memang jumlah komentar menjadi penyemangat tersendiri untuk semakin rajin menulis. Bagi pengunjung blog mbak Nia, bisa memasukkan komentar di bawah postingan lengkap setelah di klik link tulisan baca selengkapnya.

Profil penulis diletakkan di icon garis tiga di menu utama. Jika ingin mengetahui profil lengkap mbak Nia kita bisa mengklik link tulisan kunjungi profil. Di atas link ini juga ada tombol mengikuti bagi pengunjung yang ingin mendapatkan update tulisan terbaru dari mbak Nia. Lalu di bawah link tulisan kunjungi profil juga ada link tulisan arsip yang apabila di klik akan menampilkan statistik jumlah tulisan mbak Nia dari waktu ke waktu. Dan yang terdapat di bagian paling bawah dalam side bar ini adalah laporkan penyalahgunaan. Saya kurang paham fungsinya, apa mungkin apabila terdapat tulisan yang kurang berkenan dalam blog mbak Nia maka akan bisa dilaporkan pengunjung blog melalui link tulisan ini. Saya jadi khawatir mencoba mengklik link tulisan ini karena so far tulisan mbak Nia bagus-bagus dan layak untuk dinikmati.

Demikian sekilas ulasan saya untuk blog penakayyisajasmine.blogspot.co.id. Ohya dari segi tampilan warna, saya suka hijau tosca dan biru laut yang menjadi latar blog ini. Jika waktu teman-teman sedang luang bisa disempatkan mampir di blog mbak Nia. Saya suka tulisan beliau, salah satunya cerbung berjudul Semerbak Jasmine. Cerita yang berlatarkan tentang poligami ini memiliki 14 part dengan akhir yang happy ending. Sangat seru untuk disimak :). Cerita lain kiranya juga menarik dan bisa menjadi referensi tulisan fiksi bagi pembaca. Nice blog mbak Nia ^_^ Semangat!

#TantanganBonus
#RCO'3
#ODOP

Kamis, 12 April 2018

Being in love with you


Saat kita masih taaruf dulu, aku sempat terkesima atas kemudahan-kemudahan yang Allah berikan dalam proses kita. Bapakku langsung mengiyakan ketika pertama kali kutunjukkan proposalmu. Aku yang tak mengenalmu saat itu, hanya mampu berdoa, Allah jika dia memang jodoh terbaikku maka dekatkanlah, dan jika sebaliknya maka jauhkanlah. Dan di sanalah kita, bergandengan tangan sebagai mempelai di pelaminan. :)

Cinta, aku bahagia saat kau bersabar dengan segala kekuranganku. Saat aku malas membersihkan kamar robot sehabis mengerjakan scrap, saat aku ngomel karena kecapekan mengurusi anak kita, saat aku malas memasak, hehe... Maaf ya sayang, insyaallah pelan-pelan aku berusaha memperbaikinya.

Sayang, aku paling senang saat kau ajak jalan-jalan. Tak lama setelah kita menikah, kau sodorkan tiket pesawat atas namaku jurusan Surabaya-Malaysia untuk memghadiri wisudamu. Betapa aku merasa istimewa. Kau katakan itu sudah kau booking jauh hari sebelum kita menikah, alhamdulillah, untungnya ya kita benar-benar berjodoh. :p

Lalu saat kau katakan akan mengajakku ke Bali, kau tau? I feel my dream come true, itu semua karenamu. :* Saat kau tugas keluar kota, maupun keluar negeri pun kau tak pernah melupakanku. Minimal kau kirim foto di pasir bertuliskan "I love you" saat kau di Korea. Atau foto bertuliskan "Happy bithday sweetheart" saat kau di Jerman, it means a lot for me :)

Kau selalu mendukung segala keputusanku, saat aku ingin belajar berbisnis mlm, kau bantu aku tiap bulan untuk tupo..hehe. Saat aku ingin berbisnis sendiri, kau belikan aku meja kerja, dan merenovasi kamar depan yang sekarang jadi tempatku bekerja dan berkreasi, terima kasih sayang.

Abu Hafidza, terima kasih karena kau selalu mau berganti peran denganku dalam mengurus anak kita, saat aku capek kau gantikan menyuapi Fidza, memandikannya, bahkan menyebokinya saat pup. Kau abi yang luar biasa. Saat jalan-jalan pun kau selalu kebagian menggendong anak kita, kau tau, kau terlihat gagah saat-saat seperti itu. <3

Kau selalu sabar kepada anak kita, kaupun sering mengingatkanku agar makin sabar kepada Hafidza.
Kau tak segan ikut seminar parenting bersamaku, untuk sama-sama belajar menjadi orang tua yang baik bagi Fidza. Ya itulah yang aku harapkan, kita bisa menjadi partner dalam mendidik anak kita. Semoga kelak Hafidza jadi anak sholihah, hafidzah Qur'an yg memberi bobot bumi dengan kalimat laa ilaa ha ilallah.

Sejak awal kau sudah sukses dengan caramu, kau dosen, kau pintar, kau ahli robot, dan kau sukses mengambil hatiku. :* Kau sudah memiliki peran peradaban yang begitu jelas di depanmu, dan kau bantu aku menemukan peran peradabanku, sekali lagi terima kasih sayang, jazakallah.
I love you, always love you.

Semoga Allah jodohkan kita di dunia dan akhirat, semoga anak-anak kita menjadi qurrota a'yun bagi kita dan mengambil peran peradaban terbaiknya dengan akhlak termulianya..aamiin

#KelasFiksi
#ODOPBatch5

Rabu, 11 April 2018

Perjalanan Hidupku (part 5)


“Hewan Peliharaan”


Salah satu hal yang tak bisa hilang dalam ingatanku adalah bahwa bapak suka memelihara burung. Berbagai macam burung pernah dipelihara oleh bapak, mulai burung Perkutut, burung Murai batu, burung Kacer, dan burung Nuri. Suatu hari sepulang dari kerja di luar kota selama beberapa bulan, bapak membawa empat ekor anakan burung Kacer. Dirawatnya burung-burung yang masih mungil itu dengan penuh kehati-hatian dan kasih sayang. Karena masih bayi, maka burung-burung itu perlu disuapi dengan makanan burung yang dilembutkan menggunakan air. Bapak menyuapi anak-anak burung itu satu per satu hingga semua kenyang. Setiap hari selalu disempatkannya membersihkan kandang dan memberi makan burung-burung kesayangannya. Aku dan Bagus sering ikut mengamati tingkah polah burung-burung kecil yang menggemaskan itu. Hingga tiba saatnya bapak harus kembali bekerja keluar kota, maka tugas merawat burung-burung itu diserahkan kepadaku. Beruntung burung-burung itu sudah cukup besar sehingga bisa makan sendiri dari wadahnya. Aku hanya perlu mengisi makanan dan mengganti minumannya setiap hari serta membersihkan kandang burung-burung ini beberapa hari sekali.

Ketika burung-burung itu sudah dewasa dengan warna bulu hitam mengkilat, bapak mengganti makanan burung dari pur (makanan burung olahan) menjadi ulat-ulat kecil. Aku sebenarnya jijik melihat puluhan atau bahkan ratusan ulat itu bergerak saling bertindihan merayap kesana-kemari. Ulat itu berukuran sekitar dua sentimeter, lebarnya sekitar dua millimeter, dengan garis garis sepanjang tubuhnya. Jika sedang musim, terkadang burung-burung itu juga diberi makan kroto, atau bayi semut angkrang. Sebenarnya aku lebih suka memberi makan kroto pada burung-burung Kacer kami, namun di toko makanan burung dekat rumah hanya menyediakan ulat kecil. Dan mimpi burukpun menjadi kenyataan ketika bapak kembali bekerja, aku bertugas mengurus makanan burung-burung Kacer kesayangan bapak. Setiap hari aku harus mengganti dan mengisi ulang tempat makan burung dengan ulat-ulat kecil sambil menahan rasa jijik. Tak jarang ketika makan, burung-burung itu menjatuhkan ulat-ulat sehingga berantakan dan merayap disana-sini. Aku begidik jika melihat ulat-ulat itu, namun masih belum seberapa jika dibandingkan ibuku yang amat sangat jijik dan tidak mau sama sekali menggantikan tugasku jika berhubungan dengan ulat-ulat hitam ini. Beberapa hari sekali aku juga harus bersepeda membelikan ulat di toko makanan burung jika persediaan kami habis.

Poin plus dari burung Kacer bapak adalah suaranya yang sangat merdu, bapak melatih mereka dengan membelikan kaset kicauan burung yang memenangkan beberapa ajang kontes kicauan burung. Kaset tersebut disetel hampir setiap hari untuk diperdengarkan pada burung-burung Kacer milik bapak. Awalnya burung-burung ini mengikuti suara di kaset sedikit demi sedikit, lama kelamaan burung-burung inipun menjadi hobi berkicau. Mendengar kicauan burung-burung yang merdu ini menarik kami dalam suasana pedesaan yang damai, aku menjadi paham segala pengorbanan yang dilakukan bapak bukanlah untuk sesuatu yang sia-sia. Sejak burung-burung Kacer bapak pandai berkicau, tiap pagi kami dibangunkan dengan suara merdu kicauan burung, menyenangkan bukan? Namun sayang sekali beberapa dari burung-burung itu mati secara bergantian, seingatku karena sakit. Bapak sampai membelikan mereka kelabang sebagai pengobatan, dan Alhamdulillah manjur. Seingatku, ketika pindah ke rumah baru di desa Wates, burung Kacer bapak tinggal dua ekor. Tak berapa lama kemudian tinggal satu ekor karena yang satu juga mati, kami sedih sekali.

“Burung Kacer bapak ada yang ingin membeli,” ujar bapak suatu hari.
“Ohya ditawar berapa, Pak?” tanyaku pada bapak.
“Tiga ratus ribu,” jawab bapak, jumlah tersebut termasuk besar pada jaman itu.
“Lantas bapak membolehkannya?” tanyaku lagi penasaran.
“Tidak, bapak eman (sayang),” ujarnya pelan.
Aku paham perasaan bapak, bagaimanapun burung tersebut adalah satu-satunya tersisa dari empat burung yang kami rawat dan besarkan sejak masih bayi. Bunyi kicauannya yang merdu juga selalu mewarnai hari-hari kami, memecah kesunyian, serta menorehkan keceriaan. Perlahan tapi pasti keberadaannya telah mengisi hati kami, sehingga sungguh sangat kami sayangkan jika melepasnya demi beberapa lembar uang. Namun kejadian pada suatu hari membuat kami menyesal. 

Pagi itu, seperti biasa burung Kacer bapak ditaruh di teras rumah agar menghirup udara segar sambil berkicau indah dan melompat kesana kemari di dalam kandangnya. Menjelang siang ketika bapak akan memasukkan burung Kacernya tiba-tiba bapak berseru,
“Burung Kacer bapak hilang!!” teriak bapak dari halaman. Kami pun bersegera ke depan melihat apa yang tengah terjadi. Bapak mencari-cari seseorang yang bisa dijadikan saksi saat kejadian, siapa pelakunya? Bagaimana ciri-cirinya? Lari kemana? Siapa tahu burung Kacer bapak masih bisa diselamatkan. Sayang seribu sayang, saat itu siang hari dimana kebanyakan orang lebih memilih berada di dalam rumah karena terik matahari yang mulai naik di atas kepala. Tidak ada seorangpun saksi kejadian yang bisa ditanyai perihal pelaku yang mengambil burung Kacer kesayangan bapak. Kamipun pasrah, hal terakhir yang bisa kami lakukan adalah mengikhlaskan kepergian burung Kacer itu sebagaimana saat saudara-saudaranya berpulang. Kulihat kesedihan menggayut di wajah bapak, namun kutahu beliau adalah lelaki yang tegar. Terkadang momen kehilangan adalah momen untuk bermuhasabah, adakah harta yang belum disedekahkan? Kami mencoba mengambil hikmah dari kejadian ini. Setiap kebersamaan akan berujung perpisahan, karena tidak ada yang kekal kecuali Tuhan.


#Tantangan2(HewanPeliharaan)
#KelasFiksi
#ODOPBatch5

Selasa, 10 April 2018

Memoar 411 dan 212

Sumber gambar: news.okezone.com

411 Membuat pembenci Islam ternganga, aksi yg dihadiri kurang lebih dua juta orang ini menunjukkan bahwa Islam Indonesia itu besar, kuat, dan berani. Mereka takut terkencing-kencing melihat umat bersatu sehingga mencari berbagai macam cara untuk menghalangi bersatunya umat lagi di aksi 212. Mulai dari isu makar, menetapkan Ahok tersangka tapi tetap bisa melenggang bebas dan kampanye, serta para buzzer yang menyerukan keprihatinan atas 212 dengan berbagai macam alasan, ada yang bilang kalau mau doa ya di rumah aja, ngapain jauh-jauh ke Jakarta, bikin macet, mengganggu ketertiban aja (ah sudahlah,mereka nggak akan paham yang dirasakan orang beriman dalam kesatuan umat ini). Yang paling parah yakni mengerahkan polisi untuk menghalangi berangkatnya mujahid dari pelosok negeri. Entah dengan mengancam PO bus agar tak menyewakan busnya, menahan orang yang naik pesawat hingga tiketnya hangus, bahkan ada cerita mereka menghalangi jalan dengan alat berat sehingga macet total.

Tapi itu semua tidak menyurutkan semangat para mujahid, kita lihat mujahid Ciamis yg rela menempuh ratusan kilo dengan berjalan kaki!! Dan di situpun kita lihat keikhlasan rakyat sekitar yang rela menyumbangkan apa yang mereka miliki demi logistik para mujahid sepanjang perjalanan. Ada yang menyiapkan makanan berat, minuman, sarung, jas hujan, kopi, jajanan tradisional, walaupun mereka hanya pedagang kecil tapi mereka memiliki hati seluas samudra atas keikhlasannya dan ghirohnya untuk turut memberikan sumbangsih dalam jihad bela Islam. Cerita ini berhasil menyentak nurani ribuan orang, merekalah muhajirin dan anshor masa kini (saya menulis bagian ini sambil pengen mewek).

Walaupun dengan berbagai aral rintangan 212 berjalan dengan lancar dan super damai, tidak ada satupun yang mereka tuduhkan, entah itu makar, dan lain sebagainya itu sama sekali tidak terbukti. Peserta yang hadir luar biasa jumlahnya, ada kurang lebih tujuh juta orang!! Allahu Akbar!! B\a\hkan ada yang mengatakan bahwa jumlah ini melebihi jamaah haji di Arab. Apakah ini tanda bahwa kebangkitan Islam dimulai dari negara ini?? Subhanallah, Walhamdulillah, Allahuakbar!!

411 dan 212 menunjukkan pada dunia betapa kita besar, kuat, dan pemberani. Hilangkanlah rasa pesimis dalam hati kita wahai umat Islam. Mereka para musuh Islam disana pasti gemeteran ketakutan melihat umat bersatu. Hapuskanlah dari pikiran kita segala stigma negatif yang berusaha ditanamkan musuh Islam dalam pikiran kita selama ini. Islam itu Indah, Islam itu damai, Islam itu kuat, Islam itu rahmatan.lil alamin. Itulah yang harus kita masukkan dalam hati, we proud to be a moslem :)

4 Desember 2016

#KelasFiksi
#ODOPBatch5

Senin, 09 April 2018

Perjalanan Hidupku (part 4)



“Bapak pulaaang! Horee,” teriakku demi melihat sosok bapak yang muncul dari balik pintu samping rumah. Aku dan adikku segera berlari berebutan untuk memeluk dan mencium bapak. Hampir tiga bulan bapak mengerjakan proyek bendungan di Lamongan, momen kepulangannya kali ini tentu saja sudah kami tunggu-tunggu. “Bapak bawa oleh-oleh apa?” Tanya Bagus lugu. “Ini ada snack dan buah-buahan, yuk dimakan bareng,” jawab bapak ceria. “Tadi turun bis dari Wates ke rumah naik apa?” tanya ibu sambil membantu membawa bawaan bapak. “Naik ojek, biar surprise jadi sengaja langsung pulang nggak minta jemput,” jawab bapak sambil tersenyum-senyum. “Ohya, anak perempuan bapak katanya diterima di SMP 1 ya? Selamat ya, Nduk,” ujar bapak sambil mengusap-usap kepalaku, akupun tersenyum senang. Setelah bercengkerama sejenak sambil menikmati oleh-oleh, bapak segera bersih diri lantas beristirahat. Keesokan paginya bapak berkata akan mengajak kami jalan-jalan, tentu saja kami sangat senang.

Seperti yang dijanjikan bapak, menjelang siang kami berangkat jalan-jalan di kota Kediri. Kami belanja di Golden swalayan, salah satu swalayan terbesar di Kediri kala itu. Selesai belanja berbagai kebutuhan, kamipun menonton film di bioskop Golden hingga petang menjelang. Bapak juga mengajak kami makan bebek di depan Golden, salah satu kuliner favorit kami. Sebelum pulang kami mampir duduk-duduk di depan stadion Kediri. Di sana kami bercengkerama sambil melihat kendaraan berlalu-lalang. Aku dan Bagus lari-lari berkejaran di halaman stadion yang luas. Bapak membeli jagung rebus sebagai camilan sambil asyik mengobrol berdua dengan ibu. Memang suasana kota saat malam memberikan kesan tersendiri terutama bagi keluarga yang sehari-hari hidup di desa yang lengang jika malam tiba. Setelah puas jalan-jalan kami pun pulang mengendarai sepeda motor berempat, aku duduk di depan bapak, sementara Bagus dipangku ibu di belakang.

Jika pulang, biasanya bapak menghabiskan waktu sebulan atau lebih lama sambil mencari proyek berikutnya di tempat yang berbeda. Meskipun tidak bekerja, ada saja yang dikerjakan bapak di rumah. Suatu hari bapak membuat taman, membangun pembatas tempat menanam bunga di samping tembok rumah. Sesekali bapak juga berkebun, menanam bunga baru, mempercantik taman, atau merawat tanaman yang sudah besar dan merapikan daunnya yang mulai tumbuh tak beraturan. Pernah juga bapak membuat lukisan Tanah lot yang begitu indah, waktu itu belum ada internet seperti sekarang, jadi bapak melukis berdasarkan ingatan beliau ketika pernah bekerja di Bali. Aku paling suka menikmati indahnya lukisan bapak, mengagumi bagaimana beliau menggoreskan setiap detail pemandangan yang menyerupai wujud aslinya. Mungkin sejak itu pula aku mulai suka menggambar, darah seni mengalir dalam darahku. Saat kecil bapak menghasilkan banyak sekali karya lukisan, sayang jaman dulu lukisan-lukisan tersebut tak laku dijual. Ujung-ujungnya kanvas-kanvas indah itu bernasib naas sebagai tempat simbah menjemur kerupuk. Aku tertawa saat bapak bercerita tentang nasib lukisannya, jika bakatnya diasah mungkin bapakku sekarang sudah memiliki sanggar lukis dan menggelar pameran.

Salah satu buatan bapak yang sangat bermanfaat bagi kami adalah kolam ikan. Di sana bapak memelihara puluhan ekor lele yang dipelihara sejak masih benih ikan sebesar kecebong. Pernah suatu hari saat hujan deras sekali, tiba-tiba bapak berteriak memanggil kami semua agar segera keluar rumah. Ternyata karena derasnya hujan, air menggenang di atas mata kaki mengalir menghanyutkan apapun yang dilewati termasuk lele-lele peliharaan bapak. Memang kolam bapak dibangun menjorok ke dalam tanpa pembatas sehingga ketika banjir ikan-ikan di dalamnya akan dengan bebas ikut berenang mengikuti aliran air. Kamipun segera berlari mencari apapun yang bisa digunakan untuk menangkap ikan yang berenang di segala penjuru. Aku membawa baskom, bapak membawa timba, Bagus dan ibu pun membawa alatnya masing-masing. Kami tertawa-tawa berlomba menangkap ikan yang berenang dengan gesit, jika berhasil tertangkap lele dimasukkan dalam timba besar. Kami menikmati hujan-hujan sambil berlarian mengejar ikan, hari itupun kami bersedekah lele ke penjuru desa. Malamnya kami pesta makan lele goreng, besoknya makan lele pepes, dan begitu seterusnya hingga stok lele habis.


Bersambung

#Tantangan1(Deskripsi)
#KelasFiksi
#ODOPBatch5

Minggu, 08 April 2018

Indahnya Ukhuwah



Latepost

Hari Rabu malam suami saya berangkat ke jember memdampingi lomba robot. Saya ambil kesempatan itu untuk pulang ke Kediri bersama adik dan Fidza. Dengan izin suami kami berangkat menggunakan kereta api. Berhubung liburan panjang,kami termasuk yang kurang beruntung karena hari kamis sudah full untuk pemberangkatan pagi dan siang. Pilihan tinggal pemberangkatan maghrib dan sampai disana malam,itupun tersisa tiket berdiri. Karena sudah kangen mbah dari almarhum ibu saya, resikopun saya ambil.

Saat berangkat,sengaja saya ajak adik dan anak saya mencari tempat duduk yg belum ditempati dulu.
Tidak lama kemudian serombongan orang naik, rata-rata berjenggot dengan celana cingkrang dan ibu-ibu bergamis panjang membawa serta anak-anak mereka, seketika suasana menjadi ramai. Kami pun berdiri mempersilakan empunya kursi menduduki kursinya, ada dua ibu yang satu membawa bayi. Adik dan anak saya mendapat duduk d kursi kanan depan tempat saya berdiri. Ternyata kursi yang awalnya saya duduki tersisa satu, suami salah satu ibu tersebut memilih duduk berdesakan bersama bapak-bapak lainnya. Saya pun meminta izin menduduki kursi tersebut dan dipersilakan.

Obrolan saya mulai dengan ibu yang membawa bayi, ternyata mereka beramai-ramai karena ada acara jamaah di Jombang. Saya mulai merasa akrab setelah berbincang banyak, beberapa kali ditawari makanan kecil juga saya tidak sungkan-sungkan mengambilnya. Anak saya yang dasarnya kinestetik bolak balik dari kursi tantenya ke kursi saya minta dipangku. Sebentar kemudian dia tertarik bergabung bermain bersama anak-anak kecil yang umurnya kurang lebih sama dengannya.
Saya tidak melarangnya karena orang tua mereka juga tidak berkeberatan Fidza bergabung. Karena rata-rata para ibu sudah sibuk dengan bayinya, yang momong anak-anak balita adalah para bapak, dan otomatis anak saya ikut dimomong (modus).

Candaan demi candaan khas anak-anak membuat Hafidza begitu ceria. Alhamdulillah anak saya termasuk anak yang mudah akrab alias SKSD (Sok Kenal Sok Dekat). Ditambah bapak--bapak tadi pintar berbaur masuk ke dunia anak-anak, berperan menjadi zombie, bercerita tentang ular sambil memeragakannya, dan banyak hal lagi yang membuat anak-anak semakin senang. Mereka lari kesana kemari, tertawa-tawa riang dengan pengawasan banyak orang dewasa. Saya yang mengamati sambil sesekali ngobrol dengan tetangga duduk saya ikut bahagia dan terbantu sekali karena Fidza jadi asyik dan sekalipun tidak rewel sepanjang perjalanan. Tiga jam tak terasa hingga kami sampai di tujuan, Fidza salim satu per satu dengan para bapak dan ibu-ibu tersebut. Tak lupa saya pun menyampaikan terima kasih kepada mereka.

Hari jumat pagi saya teringat kepada mereka, saya pun menangis terharu karena kebaikan mereka.
Memang kami tidak mengenal sebelumnya, tapi ukhuwah Islam begitu terasa. Saya pun teringat saudara-saudara Islam yang ditindas dan dibantai begitu keji di belahan lain bumi ini. Merekapun saudara saya, sayapun mendoakan mereka dan saudara-saudara Islam yang lainnya. Semoga Allah kuatkan kaki kita semua wahai umat Islam, masing-masing kita semua berjuang. Jika amal kami masih sebatas lisan dan tulisan, maka saudara kita nun jauh mengangkat pedang demi kemuliaan Islam. Sungguh Allah tidak akan menyiakan pengorbanan sekecil apapun, kalaupun nyawa meregang dalam berjuang, maka surgalah jaminannya.

#KelasFiksi
#ODOPBatch5

Saat Ibu Plegmatis Mendidik Anak Sanguinis




Saya bersyukur memiliki anak cerdas yang selalu aktif, percaya diri, dan ceria. Betapa sehari-hari dia memiliki sejuta eksperimen yang terkadang bisa membuat saya terkaget-kaget. Satu prinsip saya, ingin mempersilahkannya banyak berkreasi, dan karena hal itu saya masih kurang disiplin menerapkan batasan. Ada kalanya ketika di sebuah seminar, anak saya bermain di depan panggung lari kesana kemari, dan saat dia begitu menikmati kegiatan barunya, dia seperti susah dihentikan lagi. Dia sangat senang bertemu kawan sebaya atau yang sedikit lebih tua darinya. Hafidza begitu menikmati bermain dengan kawan-kawan barunya, setiap hari, setiap saat, siapapun itu. Dia begitu mudah lengket dengan kawan barunya dan menikmati bermain bersama, apalagi Fidza juga punya semacam daya pikat sehingga teman barunya pun suka bermain dengannya

Anak saya, Hafidza
Saya sangat menyayanginya
Saya hanya berharap bisa bersabar, setiap hari, setiap saat, atas segala tingkah polahnya
Saya hanya menginginkan diri saya sendiri cukup kreatif menyediakan kebutuhannya agar bisa memaksimalkan fitrah tumbuh kembangnya
Saya meminta kepada Allah, kemampuan untuk menanamkan fitrah keimanan kepadanya sedini mungkin, sesering mungkin,agar dia jadi pribadi sholihah hafidzah Al Qur'an yang bermanfaat bagi agama dan bangsanya.

Di atas semua itu, walaupun kami berbeda, dan saya sering kewalahan karenanya, saya berusaha semakin memahaminya. Semoga Allah selalu menolong kami dalam mendidik anak kami, dan menuntunnya sesuai fitrahnya. Hanya Dia-lah penolong kami, hanya pada-Nya kami meminta pertolongan.

#KelasFiksi
#ODOPBatch5

Jumat, 06 April 2018

Perjalanan Hidupku (part 3)


Seorang ibu sedang bersama anak gadisnya berdiri di depan sebuah papan pengumuman di salah satu dinding bangunan SMP N 1 Kediri. Mata keduanya menyusuri barisan nama yang berhasil lolos diterima masuk SMP favorit itu. “Bu, namaku ada di sana, itu nomor 148!!” pekik Icha kepada ibunya. “Alhamdulillah, kamu diterima nak. Selamat,” ujar ibunya Icha sambil mencium kedua pipi anaknya. Mereka tertawa bahagia, lantas bergandengan menuju parkiran. “Sebagai ucapan selamat ayo kita makan bakso sebelum pulang,” ujar ibu dengan nada senang. “Yeay asyik,” jawab Icha demi membayangkan makan semangkuk bakso kesukaannya. “Besok setelah bapak pulang, kita bisa jalan-jalan bersama. Masih ada waktu beberapa hari sebelum daftar ulang dan kegiatan belajar dimulai,” ujar ibu lagi yang disambut senyum bahagia anaknya. Kedua orang ini pun segera mengendarai motor menuju warung bakso kegemaran Icha sejak kecil. Saat Icha masih TK hampir setiap hari dia minta dibelikan bakso di warung itu.

Setelah beberapa saat berkendara, mereka pun sampai di warung bakso Barokah yang terletak tak jauh dari stadion Kediri. Warung bakso tersebut memang sangat terkenal sampai-sampai bisa membuka cabang di beberapa tempat. Warung yang mereka tuju merupakan warung pusat yang terbilang cukup luas. Ada beberapa baris bangku panjang yang jarang sepi terutama di jam-jam makan siang. Icha dan ibunya memilih duduk di salah satu bangku yang terdapat kipas anginnya sekalian melepas gerah. Cuaca hari itu terbilang panas sampai-sampai baju yang dikenakan mereka basah oleh keringat. Seorang pelayan datang mencatat pesanan mereka, dua mangkok bakso dan dua gelas es jeruk yang mereka pesan segera datang beberapa menit kemudian. Tanpa menunggu lama keduanya segera asyik menikmati lezatnya bakso Barokah sembari mengobrol ringan tentang menu makan malam. Tak terasa semangkok bakso ludes, es jeruk pun diseruput hingga kandas hanya tersisa es batunya. Mereka pun membayar makanan yang telah dimakan serta bungkusan untuk adik dan ART-nya, lantas berkendara pulang ke rumah.

*****

Hari menjelang sore ketika aku dan ibuku sampai di rumah, adikku, Bagus segera menyambut dan memeluk kaki ibu, dia senang mengetahui ibu membawa sebungkus bakso untuknya. Aku segera bersih diri,  sementara ibu mulai sibuk menyusui adik bayiku yang masih ASI. Bagus asyik menikmati bakso sambil menonton televisi ditemani mbak Rum, asisten rumah tangga kami. Aku sudah selesai bersih diri dan shalat Ashar, gantian ibu bersih diri sementara adik bayiku dititipkan kembali ke mbak Rum. Ketika ibu mandi, aku dan Bagus bermain bersama adik bayi yang sudah bisa mengoceh lucu. Rumah yang kami tinggali merupakan rumah yang dibangun sedikit demi sedikit dari hasil kerja keras bapak kami sejak awal menikah. Rumah yang terletak tepat di samping rumah nenek kami sejatinya dibangun di atas tanah warisan. Pemilik asli tentu saja kakek kami membaginya kepada bapak, nenek dan tiga orang saudara bapak. Lantas bapak melobi nenek dan saudara-saudaranya agar mau menjual tanah bagiannya kepada bapak untuk dibangun, lagipula saudara-saudara bapak tersebut sudah memiliki tempat tinggal masing-masing sedangkan nenek tinggal di rumah kakek. Setelah semua setuju, bapak pun membayar harga yang disepakati dengan cara mengangsur tiap bulan secara bergantian. Selain untuk mencicil tanah, sebagian gaji bapak juga ditabung untuk membangun tanah itu. Pembangunan tanah hingga berbentuk rumah seperti sekarang dilakukan secara bertahap dan membutuhkan waktu sekitar 12 tahun, waktu yang tidak singkat memang.

Rumah kami dibangun di atas tanah yang cukup luas, khas desa yang tanahnya luas-luas. Rumah yang berukuran sekitar 12x15 m ini tergolong cukup besar dengan desain minimalis. Ruang tamu berada paling depan sekaligus menjadi pintu masuk utama, berjajar dengan kamarku, lalu kamar orang tuaku yang sama-sama memiliki akses jendela depan. Lalu di belakang ruang tamu ada kamar untuk ART kami yang berjajar dengan ruang keluarga tempat kami menonton televisi. Selanjutnya ada ruang penghubung sekaligus pintu samping yang menjadi pintu masuk kendaraan sekaligus tempat parkir. Di sebelah ruang penghubung ada ruang untuk tempat shalat, kemudian terdapat sebuah pintu yang menuju ke dapur dan kamar mandi. Ketika kami tinggali bapak masih terus melakukan pembangunan untuk memperluas dapur serta teras belakang. Selain itu bapak juga membuat dua kolam di samping rumah dan di halaman belakang untuk memelihara ikan. Ketika sedang off bapak selalu menyempatkan menanam berbagai macam bunga di halaman rumah kami yang luas. Bapak juga membuat sendiri berbagai pernak pernik taman seperti lampu taman, gundukan naik turun, rumput-rumput, serta batu-batu yang disusun untuk mempercantik taman buatannya. Dengan sentuhan tangan bapak yang telaten, rumah kami menjadi sangat cantik dan membuat semua anggota keluarga semakin betah tinggal di dalamnya.

Bersambung

#Tantangan1(Deskripsi)
#KelasFiksi
#ODOPBatch5

Kamis, 05 April 2018

Aku, Hafidza dan hujan


Sore ini aku berangkat ke T*KI untuk mengirim pesanan scrap. Seperti biasa Hafidza nggak mau ditinggal. Kamipun berangkat menaiki M*o bututku. Dalam perjalanan subhanallah mendungnya gelap sekali. Akupun mencoba mengajak Fidza diskusi.
"Fidza, coba lihat di atas langitnya gelap ya.."
"Mana umi?"
"Itu di atas, kalo gelap begitu tandanya mau hujan."
Fidza pun no comment, hihi..
Sampai di tujuan saya segera menyelesaikan transaksi lalu bergegas pulang. Ternyata hujan sudah turun dengan lebatnya.
"Lho umi nggak bawa jas hujan. Yaudah ayo kita hujan-hujan." Diajak hujan-hujan, Fidza terlihat excited dan segera memainkan air yang turun dari genting. Kamipun berkendara menembus derasnya air hujan. Diguyur berliter-liter air dari langit segar sekali rasanya, tapi lama-lama rasa dingin mulai menusuk tulang. Fidza sangat menikmati acara hujan-hujan ini.
"Umi aku minum air hujan," ujar Fidza.
"Lho jangan, kotor sayang," kataku.
"Gapapa.." ujarnya innocent -.-'
"Fidza suka nggak hujan-hujan?" Aku mencoba memancing diskusi lagi.
"Sukaaaa," :) tukasnya senang.
"Siapa yang menciptakan hujan?" tanyaku.
"Allah.." :) jawab Fidza.
"Allah hebat ya," tambahku lagi.

Sampai gang dekat rumah, kami melewati toko mainan.
"Umi beliin mainan," yah, anak-anak :D
"Umi nggak bawa uang," asli tas ketinggalan :p
"Ayo mumpung hujan kita berdoa."
"Yaa Allah berikan pada abi dan umi rezeki yg halal, barokah, dan melimpah, sehingga bisa beliin Fidza mainan, aamiin" tuntunku dengan diikuti Fidza.

Alhamdulillah momen hujan ini ternyata membawa beberapa pelajaran buat kami. Semoga Fidza semakin yakin pada Tuhannya Allah SWT. Semoga keimanan semakin tertanam jauh di lubuk hatinya. Menjadi akar yang kokoh bagi kemuliaan akhlaknya. Membawanya menjadi muslimah sholehah yang siap berjuang bagi agamanya..insyaallah, aamiin.

Surabaya, 11 November 2016
Ummu Hafidza

#KelasFiksi
#ODOPBatch5

Rabu, 04 April 2018

Perjalanan Hidupku (part 2)


Di sebuah ruangan kelas, bangku-bangku berjajar dengan nomor peserta ujian ditempel di ujungnya. Setiap meja terdapat satu nomor peserta berurutan dari depan ke belakang, kemudian berseling dari belakang ke depan. Aku mencari nomor pesertaku dan kudapati tempat dudukku ada di bangku paling depan, nomor dua dari sebelah kanan. Kupersiapkan alat tulis untuk ujian nanti, pensil yang sudah runcing, penghapus, stipo, dan bolpoint, oke all prepared. Waktu masih menunjukkan pukul 6.15, masih ada 30 menit menjelang ujian. Kusempatkan menuju kamar kecil untuk menunaikan hajat agar saat ujian tidak terganggu karena keperluan mendesak. Detik demi detik menunggu waktu ujian dimulai terasa begitu lama (ya iyalah, datangnya kepagian :D). Hingga masuklah seorang guru wanita berhijab ke dalam kelas, membawa beberapa amplop coklat besar dengan segel yang mengelilinginya. "Baiklah, beberapa saat lagi ujian akan dimulai," ujar bu guru tanpa basa basi. "Segala keperluan alat tulis dan kartu ujian kalian letakkan di meja, lalu tasnya kalian letakkan di depan," lanjut bu guru memberikan instruksi. Kami segera mengikuti setiap instruksi yang diberikan, lembaran soal dan lembar jawaban pun dibagikan begitu kami kembali ke tempat duduk masing-masing.

Waktu yang diberikan untuk mengerjakan soal adalah 90 menit, kumanfaatkan setiap detiknya dengan maksimal. Mulai dari soal yang mudah berlanjut dengan soal yang rumit, satu per satu kukerjakan dengan mengerahkan segenap persiapan selama beberapa bulan terakhir. Setiap mengisi lembar jawaban kurapalkan dzikir dan doa dalam hati agar Allah memudahkan ujian kali ini. 15 menit sebelum waktu habis, seluruh soal telah terselesaikan, kumanfaatkan waktu yang tersisa untuk mengkoreksi setiap jawaban. Begitu waktu habis, bu guru meminta soal dan jawaban dikumpulkan, aku sempatkan berdoa agar mendapatkan hasil terbaik. Selanjutnya adalah istirahat, waktunya untuk menyegarkan kembali pikiran, mengganjal perut yang keroncongan, atau sekedar buang hajat di kamar kecil. Hari ini ada dua mata pelajaran yang diujikan, sedangkan besok hanya satu mata pelajaran. Aku melewati ujian nasional ini dengan usaha terbaikku, masalah hasil biar Allah yang menentukan, manusia tugasnya bertawakkal. Walaupun demikian doa-doa terus terpanjatkan memohon kemurahan Yang Maha Esa. Hingga tiba waktu pengumuman, hasil ujian nasional dibagikan dalam amplop putih oleh wali kelas. Hasil ujian nasionalku alhamdulillah cukup memuaskan dan menduduki peringkat teratas di sekolah. Puji syukur yang tak terhingga kupanjatkan pada Yang Maha Kuasa.

*****
Di siang yang terik, seorang ibu-ibu paruh baya membonceng anak gadisnya yang baru saja lulus sekolah dasar. Ibu itu mengenakan seragam kantor atas bawah berwarna coklat muda. Mereka berdua menuju SMP Negeri 1 Kediri, sebuah sekolah yang disebut-sebut terfavorit seantero Kediri. Setelah memarkir kendaraannya, sang ibu menggandeng putrinya menuju tempat pendaftaran yang sudah ramai sekali. Di tangan kanannya terdapat tas besar berisi berkas pendaftaran. Sementara itu tangan kirinya menggandeng putrinya yang sedang harap-harap cemas akankah berhasil lolos masuk di sekolah yang megah itu. Anak yang berusia 12 tahun itu memperhatikan setiap sudut sekolah yang akan dimasukinya. Kelas-kelasnya merupakan bangunan peninggalan Belanda dengan arsitektur  khas dan langit-langit yang tinggi. Kulit putih anak gadis itu memerah karena sengatan matahari, ditambah lagi dengan suasana yang ramai dan berdesakan mengakibatkan butiran peluh mulai menetes di sekitar dahinya. Anak itu berperawakan tinggi kurus, tingginya di atas rata-rata gadis seusianya. Wajahnya ayu dengan rambut lurus yang dikepang dua, matanya agak sipit, hidung cukup mancung, dan bibir sedikit tebal.

Selesai melakukan pendaftaran, ibu dan putrinya pun pulang dan menunggu pengumuman di hari selanjutnya. "Kalau dilihat dari pengumuman yang sudah daftar, tadi nilaimu ada di tengah-tengah, Nak," ujar ibu kepada Icha, anak sulungnya ketika makan malam bersama. "Iya bu, masih ada kemungkinan akan tergeser jika ada yang mendaftar dengan nilai lebih bagus," jawab Icha pelan. "Besok kita harus kesana lagi melihat pengumuman dan segera menarik berkas jika dirasa nilainya terlalu mepet dan terancam digeser oleh nilai yang lebih bagus," ujar ibu lagi. "Baik bu," jawab Icha sambil menyelesaikan suapan terakhir dari piringnya. Selesai makan keluarga itu menonton televisi bersama. Mereka duduk di kasur tipis yang digelar di depan televisi. Meskipun film yang mereka tonton bergenre komedi, Icha tak mampu tertawa lepas karena masih khawatir akankah dia diterima di sekolah impiannya. Malam pun semakin larut, Icha mulai berbaring di atas kasur di kamarnya yang bersebelahan dengan kamar orang tuanya. Ibu mengecup kedua pipi dan dahinya sambil mengingatkan agar Icha berdoa sebelum tidur. Di sampingnya terbaring adik laki-lakinya yang sudah pulas terlebih dahulu. Dipandanginya langit-langit kamar yang belum dipasang plavon. Dalam sunyi dia berbisik, "Yaa Allah, ijinkanlah aku masuk di sekolah impianku. Semoga aku bisa membanggakan orang tuaku dan mendapatkan prestasi di sekolah itu. Ridhoilah kami Yaa Rabb, aamiin," perlahan-lahan matanya yang makin terasa berat pun tertutup.

Bersambung

#Tantangan1(Deskripsi)
#KelasFiksi
#ODOPBatch5

Selasa, 03 April 2018

Perjalanan Hidupku


Aku terlahir dalam sebuah keluarga yang sederhana. Kedua orang tuaku bekerja. Bapak adalah seorang pegawai proyek swasta yang bekerja sebagai operator alat berat seperti escavator, bulldozer, grader, wheel loader, forklift, dsb. Beliau sudah mengikuti berbagai perusahaan di  penjuru Indonesia mulai dari pertambangan batu bara, pembangunan waduk, hingga pembangunan jalan tol. Tak jarang beliau baru pulang empat bulan sekali, atau bahkan lebih lama lagi. Sampai-sampai saat dulu aku dilahirkan, bapak tak sempat mendampingi. Ibu adalah PNS BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) yang berdinas di kantor kabupaten Kediri. Beliau adalah wanita tangguh yang mengurus keluarga sekaligus bekerja dari pagi hingga sore hari. Meskipun sering ditinggal bapak pergi bekerja di luar kota, beliau tetap sabar mengurus kami anak-anaknya di tengah kesibukannya bekerja di kantor. Aku mempunyai seorang adik laki-laki yang usianya berjarak empat tahun denganku. Kami kakak beradik yang jarang akur, watak kami yang sama-sama keras menjadikan kami tak mau mengalah satu sama lain, hal itu sering membuat pusing ibu.

Kami sekeluarga tinggal di sebuah kamar kos. Dalam ruangan berukuran 3x4 m itu diletakkan berbagai macam perabotan yang dibutuhkan oleh keluarga kami. Ada sebuah lemari kayu yang diletakkan di salah satu sudut kamar. Lalu sebuah kasur busa yang ditegakkan jika sudah pagi, dan ditata kembali ketika kami hendak beristirahat merebahkan badan sambil menonton televisi. Di sudut yang lain ada sebuah meja tempat meletakkan televisi. Di sebelahnya ada meja kecil tempat meletakkan makanan kami. Beruntung ibuku orang yang cinta kebersihan dan sangat rapi. Dengan sentuhan beliau kamar yang sejatinya sempit jadi terasa luas dan cukup untuk kami bertiga, atau berempat ketika bapak pulang. Kami menghabiskan hari-hari kami di kamar kos tersebut hingga aku SD kelas lima. Saat itu rumah yang dibangun perlahan oleh bapak di desa alhamdulillah telah jadi. Kami sekeluarga pun diboyong pindah dari kota Kediri ke desa Duwet, Wates, kabupaten Kediri.

Sejak kelas lima SD aku  melanjutkan sekolah di SD Duwet tak jauh dari rumah baru. Sementara ibu setiap hari harus menempuh jarak hampir sekitar 20 km dari desa ke kota untuk bekerja. Adikku yang saat itu baru kelas dua SD sempat dibully di sekolah baru, sehingga orang tua kami memutuskan adik kembali bersekolah di kota pulang pergi bersama ibu. Aku menikmati kehidupan di desa, karena banyak petualangan di sana. Tak jarang teman dekatku mengajak untuk menggembalakan kambing, mencari kayu, atau bahkan berenang di sungai, seru kan :). Pernah suatu hari kami berdua sedang asyik berenang di sungai yang dalamnya sepinggang anak-anak. Airnya agak kecoklatan dan arusnya tidak seberapa deras. Sambil berenang kami bermain sandiwara, dan ketika sedang asyik-asyiknya bermain tiba-tiba melintas seekor ular hijau di samping kami. Sontak kami keluar dari air lantas lari terbirit-birit. Ohya, seorang adik bayi lahir tak lama setelah keluarga kami pindah ke rumah baru. Adek bayi diasuh oleh seorang asisten rumah tangga yang dulu pernah mengasuh adik pertamaku. Setiap hari ibu pulang menjelang maghrib karena jarak yang jauh dari desa ke kota. Walau demikian segala keperluanku dan adik bayi telah disiapkan oleh asisten rumah tangga kami. Akupun menikmati hari-hari sebagai seorang anak desa.

*****
Menjelang ujian nasional SD, ibu berkata, "Nak, di kota ada sekolah SMP ter-favorit yang menjadi tujuan anak-anak pintar dari penjuru Kediri." Anak desa inipun tertarik dengan perkataan ibu, "Ohya? Bagaimana sekolahannya, Bu?" tanyanya dengan mata berbinar-binar. "Sekolahnya tentu bagus sekali, tapi nilaimu harus tinggi jika ingin masuk di sekolah itu," ujar ibu. Anak desa yang selalu rangking tiga besar di kelas tentu saja merasa tertantang dan ingin membuktikan bahwa dirinya bisa masuk di sekolah favorit itu. Diapun mulai belajar lebih rajin untuk mempersiapkan ujian nasional yang tidak lama lagi. Tak lupa dirinya juga selalu beribadah dan memohon kepada Allah agar dimudahkan dalam upaya masuk di sekolah favorit kota Kediri. Usaha keras yang diiringi dengan doa terus dilakukan hingga saat ujian nasional yang ditunggu-tunggu pun tiba. Karena begitu bersemangat sampai-sampai dia berangkat kepagian. Ujian nasional kala itu dilaksanakan di SD lain yang jaraknya agak jauh dari rumahnya. Karena takut terlambat si anak desa berangkat ketika hari masih gelap, dikayuh sepeda ke SD di desa sebelah. Dan sesampainya di sana sekolah masih sepi, dia hanya berkawankan tukang sapu, krik krik.

Bersambung

#Tantangan1(Deskripsi)
#KelasFiksi
#ODOPBatch5

Senin, 02 April 2018

Passion


Sesekali ngomongin passion ya. Ini tentang saya, hehe. Sejak SMP saya suka pelajaran seni, dan yang paling menyenangkan adalah seni rupa. Teman sebangku saya bilang saya punya bakat seni rupa, yah karena dia selalu memperhatikan tugas gambar saya. Saya menikmati menggambar, menikmati lukisan-lukisan, dan katanya gambar saya lumayan. Tapi itu hanya menjadi bakat terpendam yang tak terasah, mau bagaimana lagi orang tua masih menganggap kesuksesan adalah deretan nilai delapan atau sembilan di raport. Saya sendiri bukan tipe anak pembangkang, jadi saya lebih memilih patuh,belajar dengan rajin agar mendapat nilai yang baik tiap semester. Lagipula zaman dulu fasilitas dan informasi tidak semudah saat ini, yang bisa diakses kapan saja dengan media internet. Keluarga kami juga bukan golongan orang berada yang mampu mengikutkan anaknya les disana sini. Akhirnya saya pun pasrah, dan hanya mampu menyalurkan bakat saya dalam tugas-tugas yang diberikan oleh guru kesenian rupa.

Saat SMA kelas dua ada acara dies natalis sekolah dan diadakan lomba lukis. Saya menjadi perwakilan kelas untuk mengikuti lomba tersebut dan hasilnya lumayan, saya juara dua, yeay. Tapi setelah itu, hanya menjadi kesenangan sesaat. Saya kembali berkutat dengan pelajaran dan mengejar rangking terbaik yang bisa saya dapatkan. Tibalah masa kelas tiga, saat paling mencekam dimana saya dituntut belajar lebih keras demi kelulusan dan lolos masuk universitas terbaik yang saya inginkan. Saat-saat menentukan jurusan yang akan dipilih adalah saat yg cukup menggalaukan. Sempat terpikir mengambil jurusan seni, tapi saat itu saya tak terpikir akan prospeknya di masa depan.Yah, saya sendirilah yang mematikan passion saya. Dan saya malah memilih jurusan informatika, dengan alasan prospek masa depan yang lebih menjanjikan dan grade yang tinggi. Apa yang terjadi kemudian? Selama kuliah saya merasa salah jurusan!! Tapi karena saya pantang mundur, jadilah saya berjuang dengan cara saya sendiri. Alhamdulillah bisa lulus walaupun molor dua tahun :D.

Lantas Allah menjodohkan saya dengan suami setahun sebelum kelulusan. Dengan segala aral rintangan yang kami hadapi, saya makin sadar bahwa Allah merencanakan sesuatu dengan menjodohkan kami. Ya kami dijodohkan dengan misi dariNya, sebuah misi peradaban yang tak akan terjadi tanpa rencana terbaik dari-Nya. Ini tentang passion saya, bakat terpendam yang selama ini tak pernah saya asah. Seiring waktu semakin berkembang, dengan alur yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Lulus dengan baby newborn membuat saya memilih fokus pada si kecil. Hingga usia si kecil menginjak kurang lebih dua tahun, saya mencoba belajar bisnis dengan bisnis multi level marketing (mlm), saya mendapat banyak ilmu dsana. Setahun berbisnis mlm saya pun berhenti dan memulai bisnis sendiri dengan mengandalkan iklan gratis dan promosi person to person. Sebelumnya saya sempat belajar membuat scrapframe dari kakak ipar saya. Saya tarik mundur lagi kakak ipar saya pernah melihat bahwa saya memiliki bakat seni saat saya iseng membuat sebuah lukisan yang katanya lumayan. Dan scrapframe inilah yang menjadi jualan saya, lebih tepatnya mahar scrapframe made by order. Sedikit-sedikit saya juga belajar manajemen bisnis, walaupun belum maksimal dalam penerapannya.

Seiring waktu kemampuan merangkai scrap ini semakin terasah, beranjaklah saya belajar seni decoupage yang sedang hits. Alhamdulillah responnya luar biasa. Saya mulai diminta mengisi beberapa pelatihan decoupage oleh berbagai komunitas. Mulai dari rumah belajar craft Institut Ibu Profesional (IIP), kawan-kawan SMA, hingga kawan-kawan kuliah yang ingin belajar seni decoupage ini. Alhamdulillah beberapa dari mereka kini bisa menjadi trainer decoupage atau bahkan menerima pesanan barang-barang yang telah dihias dengan seni deco. Kegiatan menerima pesanan scrap juga masih berjalan hingga menjelang kelahiran baby Hanna, untuk saat ini saya sengaja mengurangi intensitas menerima dan mengerjakan pesanan agar bisa fokus mengurus baby. Saya mulai menarik benang, bahwa mungkin memang inilah salah satu peran peradaban saya. Mengembangkan diri di bidang seni dan mulai berbagi. Ini bukan hanya tentang rupiah karena tidak terlalu banyak keuntungan yang saya ambil. Ini lebih tentang berbagi, bersosialisasi, memberi kemanfaatan bagi sesama, di sanalah saya temukan bahagia, alhamdulillah.

#Tantangan1
#KelasFiksi
#ODOPBatch5

Minggu, 01 April 2018

Why I Choose Reading Challenge ODOP (RCO)?



Alhamdulillah tantangan awal di ODOP yakni membuat satu postingan setiap hari sudah terlewati. Saat ini waktunya kami para peserta BATCH 5 yang lulus tahap awal untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Ada empat pilihan yang bisa kami pilih, pertama kelas Fiksi, kedua kelas Non Fiksi, ketiga kelas Fiksi dan RCO, serta pilihan keempat adalah kelas Non Fiksi dan RCO. Kelas Reading Challenge ODOP (RCO) menjadi kelas ekstra yang boleh diambil atau tidak oleh para peserta ODOP. Tujuan dari kelas ini adalah memberikan tantangan kepada para peserta untuk membaca minimal sekian halaman buku tiap harinya dengan beberapa level yang akan terus meningkat. Selain itu juga ada tantangan menulis satu tulisan tiap periode tantangan.

Saya sendiri memilih kelas Fiksi dan RCO di tahap ini. Kenapa mengambil kelas RCO? Apa tidak makin membebani? karena di kelas Fiksi tentunya sudah ada tugas-tugas yang harus dikerjakan. Kalau menurut saya justru saya membutuhkan kelas RCO ini, karena pada dasarnya saya malas membaca buku. Untuk menambah skill menulis, saya perlu banyak membaca agar pembendaharaan kata saya semakin kaya. Selain itu saya perlu mempelajari bagaimana menulis yang baik dari berbagai macam buku yang ditulis oleh berbagai penulis dengan gaya khas mereka masing-masing. Dengan banyak membaca, tentunya cakrawala saya semakin terbuka, dan saya memerlukan sedikit paksaan agar mampu melaksanakannya dengan konsisten.

Masalah terbebani atau tidak, saya sendiri masih belum terbayang akan sesulit apa ke depannya. Namun harapan saya, saya mampu melewati tantangan demi tantangan di kedua kelas ini dengan baik sehingga bisa lulus baik di kelas Fiksi maupun di kelas RCO. Untuk saat ini saya merasa excited dan bersemangat menjalani keduanya, karena mungkin masih awalan. Namun semoga semangat ini tidak hanya di awalan saja, namun akan terjaga hingga akhir nanti. Salah satu bahan bakar yang terus saya jaga adalah, mimpi kecil saya untuk menjadi seorang penulis. Semoga dengan usaha yang konsisten, mimpi kecil saya bisa terwujud suatu saat nanti. Mungkin tidak dalam waktu dekat, namun dua atau tiga tahun lagi, semoga salah satu tulisan saya telah terbit dan mampu menyumbang sebuah khasanah baru di dunia sastra negeri ini, insyaAllah.

#TantanganTingkat1
#RCO'3
#ODOP