Selasa, 01 Mei 2018

Perihal Corong

Perihal Corong
Zaman Old, penjajah punya antek, tugasnya bilang “semua baik-baik saja”. Zaman now, menjadi tugas corong untuk menyampaikan pada masyarakat bahwa semua baik-baik saja, meskipun nyatanya tidak. Ya, kita sedang tidak baik-baik saja, bahkan kita sejatinya sedang dijajah. Kok bisa? Apa buktinya? Sudah banyak link bertebaran, media cetak yang meliput tentang buruh-buruh ilegal yang masuk ke Indonesia sejak awal Jokowi memerintah Indonesia hingga sekarang. Buruh-buruh ilegal itu banyak yang tidak memiliki skill khusus dan bahkan banyak yang tidak bisa berbahasa Indonesia, lantas bagaimana mereka bisa memahami peraturan di negara ini? Dan parahnya, presiden mengeluarkan Pepres yang memerintahkan agar pekerja asing ini dipermudah untuk masuk ke Indonesia. Di saat warga Indonesia kesulitan mengurus administrasi, membuat KTP saja bisa memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, para tenaga asing ilegal ini dipermudah dan hanya memerlukan waktu dua hari untuk mengurus administrasi. Belum lagi gaji yang mereka terima sangat tidak masuk akal, untuk buruh kasar saja mereka digaji di atas sepuluh juta. Di saat rakyat Indonesia masih banyak yang pengangguran, ini malah mendatangkan pekerja asing dengan gaji tak masuk akal. Ah, bahkan anak kecil pun tau bahwa kita sedang dijajah, apalagi saat ini adalah zaman internet dimana informasi tersebar sepersekian detik. Mungkin bisa saja Jokowi dan orang-orang di belakangnya membayar ribuan cyber army dan atau sejenisnya untuk menghapus konten-konten yang membuka boroknya pemerintah. Tapi tetap saja, kecepatan mereka melaksanakan tugasnya tidak akan bisa menandingi kecepatan internet menyebarkan sebuah berita.
Sejak awal kemunculannya, senjata utama Jokowi dan antek-anteknya adalah pencitraan. Masih segar di kepala saya bagaimana dia dengan tiba-tiba muncul dengan Esemka-nya, lantas pemberitaan tentangnya di blow up sedemikian rupa dengan permak disana sini bahwa dia adalah pemimpin yang merakyat dan sangat kompeten. Dan sejak awal pun saya sudah bisa menangkap kejanggalan pemberitaan yang berlebih tentang Jokowi ini. Memang banyak yang tertipu, terkesan, jatuh cinta, hingga kemudian menjadi fans beratnya, lantas rela membelanya mati-matian jika ada satu dua orang yang mencoba membuka kedok busuknya. Orang-orang seperti inilah yang kemudian disebut dengan corong. Ada corong yang berbayar, ini bisa diketahui sejak masa pencalonan Jokowi sebagai presiden, sebuah artikel membongkar kedok puluhan corong yang tugasnya membuat puluhan akun palsu kemudian menyebarkan status-status yang memuja-muja Jokowi. Ini yang ketahuan, yang tak ketahuan? Bisa ratusan atau bahkan ribuan, dan kalikan saja dengan puluhan akun palsu milik mereka yang mereka gunakan untuk membuat status-status pencitraan Jokowi. Tugas mereka juga meng-counter status-status yang melawan Jokowi. Lantas bagaimana dengan corong tak berbayar? Lebih banyak lagi, isinya tentu saja orang-orang yang terlanjur termakan dengan segala pencitraan yang membombardir mereka kapanpun dimanapun selama mereka terhubung dengan internet. Totalitas mereka dalam membela pujaannya tak kalah dengan corong-corong berbayar, hal ini tentu saja karena mata dan hati mereka telah dibutakan oleh kekaguman yang berlebihan kepada sosok idolanya.
Kerja corong-corong ini kemudian menjadi ujung tombak keberhasilan Jokowi menjadi presiden Indonesia periode 2014-2019. Dan dimulailah era pemerintahan Jokowi, tentunya dengan berbagai janji saat kampanye agar dia terpilih. Rakyat pun menjadikan janji-janji ini sebagai parameter keberhasilan pemerintah, dan bagaimanakah kinerja pemerintahan Jokowi? Kenyataannya janji-janji yang dibuat olehnya hanya tinggal janji. Dimulai dari janji swasembada beras, itu tidak menjadi kenyataan hingga sekarang. Malahan pemerintah berkali-kali mengimpor jutaan ton beras di saat rakyat panen raya, bukankah hal itu malah menjadikan beras lokal jatuh harganya? Dan tentu saja berlawanan dengan janji Jokowi untuk swasembada beras. Lalu janji untuk stop impor, nyatanya pemerintahan Jokowi mengimpor berbagai kebutuhan pangan yang sejatinya bisa dipenuhi oleh produsen dalam negeri, mulai dari beras, garam, bahkan cangkul pun diimpor. Kemudian janji tidak akan menaikkan harga BBM, kenyataannya pemerintah sudah lebih dari empat kali menaikkan harga BBM tanpa memberikan info sebelumnya kepada rakyat. Dan sebagaimana kita tahu bahwa dengan naiknya harga BBM akan berimbas kepada naiknya berbagai bahan pokok lainnya, hal ini melatar belakangi perlawanan yang dilakukan ibu-ibu dengan menggunakan tagar #2019GantiPresiden. Janji untuk tidak berhutang pun diingkari dengan tumpukan hutang triliunan rupiah. Dan janji membuka 10 juta lapangan kerja baru ternyata tidak ditepati, pasalnya Jokowi menerapkan model investasi dari China berupa pinjaman uang untuk membangun infrastruktur, namun bahan harus dari China, pekerja pun harus dari China, jadi rakyat Indonesia dapat apa? Belum lagi kenyataan beberapa infrastruktur yang dibangun itu ambruk, tak layakkah jika kami meragukan kualitas infrastruktur yang dibangun era kepemimpinan Jokowi?
Ijinkan saya mengutip sebuah potongan hadits riwayat imam Ahmad. “Sesungguhnya pada hari kiamat setiap pengkhianat akan diberikan padanya bendera pada pantatnya dan akan dibalas sesuai pengkhianatannya, dan tidak ada pengkhianatan yang lebih besar dari pengkhianatan seorang pemimpin umat”. Corong selalu menyangkal dan mengatakan bahwa kebohongan yang dilakukan oleh pujaannya adalah sesuatu yang manusiawi dan tidak masalah. Bagi rakyat yang masih memiliki akal sehat pasti sepakat mengatakan bahwa itu adalah masalah besar. Jika pemimpin yang menguasai hajat hidup masyarakat Indonesia tidak dapat dipegang kata-katanya, lantas apakah dia layak memimpin di periode selanjutnya? Rakyat merindukan sosok pemimpin yang amanah, menepati janjinya, dan pro terhadap rakyatnya, bukannya malah memfasilitasi bangsa asing menjajah rakyatnya. Hal inilah salah satu yang melatar belakangi munculnya tagar #2019GantiPresiden, dan menjadi gerakan massif dari masyarakat yang sadar akan kenyataan bahwa presidennya saat ini sudah tak layak melanjutkan kepemimpinannya di bumi Indonesia.
Satu hal yang menambah keyakinan bahwa Jokowi adalah boneka asing yang ingin menjajah Indonesia, yakni proyek reklamasi yang pelaksanaanya sejatinya ditentang oleh ribuan nelayan dan tidak mendapatkan izin administrasi dari pejabat terkait. Namun pemerintah pusat seakan-akan ngoyo mempertahankan proyek ini apapun kondisinya dan tetap melakukan pembangunan walaupun tidak mengantongi izin. Lantas bangunan-bangunan megah yang telah berdiri itu dijual kepada rakyat asing dan iklannya betebaran di Negara China, bukannya itu menandakan bahwa Negara ini sedang dijual? Salah satu yang berangkulan dengan Jokowi dalam proyek reklamasi ini adalah mantan gubernur Jakarta, Ahok. Lantas Ahok pun tersandung kasus penistaan ayat suci Al Qur’an saat sedang kampanye di Kepulauan Seribu. Masih segar di ingatan ketika rakyat bangkit dalam aksi 212 yang berlanjut pada aksi-aksi selanjutnya dalam rangka membela Al Qur’an yang dinistakan oleh Ahok, gubernur Jakarta pada masa itu. Jutaan massa umat Islam bergabung membela agamanya dan menuntut agar Ahok dipenjarakan. Pemerintah yang terkesan ogah-ogahan dalam menangani kasus ini menjadikan umat Islam semakin militan dan bersatu padu menuntut keadilan harus ditegakkan. Dan setelah proses yang sangat panjang dan upaya jutaan rakyat Indonesia yang bersatu padu, akhirnya Ahok dipenjara. Hal itu membuka mata rezim pemerintahan Jokowi bahwa rakyat yang dipimpin oleh alim ulama memiliki kekuatan tak terbendung yang mampu menumbangkannya dalam sekejap. Dan dimulailah babak baru kesemena-menaan rezim terhadap tokoh-tokoh umat Islam.
Dimulai dengan kriminalisasi Habib Rizieq Shihab, ulama yang menjadi tokoh inti penggerakan massa 212, yang merembet pada kasus pembacokan ahli IT yang berusaha membuktikan bahwa Habib Rizieq tidak bersalah. Pemerintah seolah-olah ketakutan dan mulai gelap mata dengan menangkap tokoh Islam lain yang vokal walaupun sebenarnya yang disampaikan dalam ceramah-ceramahnya juga tidak ada tendensi yang membahayakan. Misalnya ustadz Alfian Tanjung yang berusaha membuka mata masyarakat akan bahaya PKI dan mewaspadainya, beliau ditangkap dan masih ditahan hingga sekarang. Lantas ustadz Zulkifli yang isi ceramahnya adalah tentang hari kiamat yang pasti kedatangannya, beliau pun menjadi korban rezim dan saat ini mendekam dalam penjara. Belum lagi kasus penyiraman air keras yang terjadi pada penjabat senior KPK Novel Baswedan, yang kasusnya tak terungkap hingga sekarang. Dan yang lebih mengerikan adalah puluhan kasus penganiayaan para ulama di berbagai daerah di Indonesia, yang beberapa di antaranya berujung kematian, yang kemudian pelakunya divonis sebagai orang gila sehingga bebas dari segala tuduhan. Astaghfirullah, dari penjabaran ini saja langsung tergambar kekejaman orde lama yang juga berusaha menyingkirkan lawan politik yang dianggap membahayakan kedudukannya dengan cara keji. Ditambah ada indikasi kebangkitan PKI yang mulai menggeliat dengan berani di era Jokowi ini. Lengkap sudah gambaran rezim yang diperankan oleh presiden kita saat ini. Lantas apakah salah jika rakyat bergerak melawan dan bertekad bersatu dengan mengangkat isu bertagar #2019GantiPresiden.
Di titik ini para corong masih juga menutup mata akan segala kebobrokan junjungannya dan terus membela dengan berbagai argument yang dipaksakan. Walaupun sudah tampak dengan sangat jelas segala borok penguasa dan tak dapat dibantah lagi, mereka masih saja mendukung secara membabi buta. Mereka tidak berusaha mencari yang terbaik untuk negeri ini, namun hanya ingin memberikan jabatan untuk idolanya. Dan inilah masalah utamanya, rata-rata para corong ini tidak mau berpikir kritis, tidak betah diajak berdiskusi, pikiran mereka tak terbuka terhadap kebenaran. Menjadi tugas seluruh elemen masyarakat yang telah sadar untuk menyadarkan mereka dan mengajak mereka kembali ke jalan yang benar. Semoga impian rakyat Indonesia untuk #2019GantiPresiden dapat terwujud dan membawa angin segar demi masa depan Indonesia dengan pemimpin baru yang jujur, amanah, kompeten, dan adil.
Oleh:
Leska Tariyani
Seorang Ibu Rumah Tangga yang rindu akan perubahan untuk Indonesia yang lebih baik.
FB: Leska Tariyani
IG: smart_scrapbook