Senin, 26 Februari 2018

Ghouta butuh Hamas


Siang yang terik, aku menyusuri puing-puing bangunan menuju ke masjid tempatku menyetor hapalan. Sambil menahan haus kurapalkan ayat demi ayat Al Qur'an yang berhasil kutambah sehabis shalat subuh tadi. Jika hapalan sudah menancap, aku masih harus menggabungkannya dengan ayat-ayat sebelumnya. Ah, beruntung otakku cukup encer sehingga tak sulit bagiku menambah ataupun mengulang hapalan. Kulihat bangunan masjid yang kutuju sudah terlihat, aku berlari-lari kecil membayangkan segarnya air yang selalu disediakan oleh pengurus masjid. Kawan-kawanku terlihat sudah banyak yang datang, setelah meneguk segelas air akupun berkumpul bersama kawan-kawan membicarakan aktivitas menyenangkan yang sering kami lakukan bersama, salah satunya sepak bola. Tak lama kemudian adzan Ashar berkumandang. Setelah shalat kami merapikan posisi duduk untuk menerima pelajaran dan setor hapalan. Ustadz segera memulai pelajaran, kami menyimak dengan takdzim.

Namaku Ahmed usia 12 tahun, aku tinggal di jalur Gaza, aku anak kedua dari 3 bersaudara. Ayah dan ibuku bekerja sebagai petani buah, jika tidak sedang berkebun mereka berjualan di pasar. Kakakku sangat pandai, sekarang dia sedang melanjutkan pendidikan di Kairo jurusan kedokteran dengan beasiswa. Adikku masih berusia 5 tahun, dia mengabiskan waktu dengan bermain dan terkadang ikut ibu ke pasar. Aku sendiri adalah seorang pelajar di sebuah sekolah pagi dan mengikuti kelas hapalan di sore hari.

Hari ini sekolahku libur, aku menghabiskan waktu bermain sepakbola bersama kawan-kawan. Ketika kami sedang asyik bermain, tiba-tiba suara pesawat jet melengking di udara disertai hujan tembakan. Seketika kami berhamburan mencari tempat berlindung. Beruntung di dekat lapangan ada bangunan yang bisa digunakan untuk perlindungan. Namun ada 2 orang kawanku yang terlambat, mereka terkena tembakan sebelum sempat menyelamatkan diri. Aku ketakutan, ketika kulihat pesawat sudah berlalu aku mendekati kawanku yang terkapar. Tapi tiba-tiba tanganku ditarik, "hentikan, aku mau menolong mereka," teriakku pada Hanif, tetanggaku. "Kau bisa tertembak jika lari ke tempat terbuka, kita harus berlindung sebelum datang serangan selanjutnya."

Aku dan Hanif berlari menuju lorong bawah tanah yang sengaja dibuat sebagai perlindungan ketika ada serangan dari Israel. Sepanjang jalan kulihat mayat bergelimpangan, hatiku sesak. Beberapa pasukan bersenjata terlihat menembak pesawat yang lalu lalang, beberapa dari mereka menolong para korban dan mengarahkan yang selamat menuju tempat perlindungan. Akhirnya sampailah kami di tempat berlindung, di sana banyak sekali orang berkumpul. Ada yg terluka, ada yang telah wafat. Tenaga medis terlihat sibuk memberikan pertolongan.

Suasana di luar telah mereda, aku keluar menuju rumahku tak jauh dari tempatku berlindung. Sampai di rumah, yang kulihat tinggal puing-puing bangunan. "Tolong..tolong..." kudengar suara rintihan lemah yang tak asing dari tumpukan reruntuhan. Aku mencari-cari arah rintihan, ternyata ada di tengah puing bangunan. Segera kusingkirkan batu-batu yang bisa kusingkirkan sambil berteriak meminta pertolongan. Ada 2 orang pasukan datang menolongku menyingkirkan reruntuhan yang menindih ibuku. "Ibu..ibu.." ujarku terisak mendapati tubuh lemahnya berlumuran darah, di pelukannya ada adikku yang pingsan. Mereka ditandu oleh tenaga medis agar segera mendapat pertolongan. Aku marah, tanganku terkepal, ingin kubuat perhitungan kepada penjahat-penjahat Israel yang telah melakukan itu semua.

Tak berapa lama kemudian ayahku datang, kakinya pincang karena terluka, kepalanya terbungkus perban. Ayah segera memelukku, dia sedang di kebun saat sebuah pesawat jet melintasi kebunnya dan membombardir dengan tembakan. Dia sempat tak sadarkan diri dan terbangun di lorong perlindungan, beruntung tembakan yang mengenainya tidak berakibat fatal. Kami berdua menunggui ibu dan adikku yang sedang dirawat. Adikku hanya luka ringan berkat upaya ibu melindunginya, namun ibuku masih harus melewati masa kritisnya. Keesokan harinya kakakku datang, dia segera bergabung dengan tenaga medis yang sangat sibuk karena banyak yang harus dirawat.

Seketika lorong bawah tanah tempat kami berlindung menjadi tempat pengungsian dengan berbagai fasilitas seadanya untuk kebutuhan para pengungsi yang selamat. Riuh rendah bacaan Al Qur'an diperdengarkan, saat waktu shalat tiba kami bersegera untuk shalat berjamaah. Aku memperhatikan pasukan-pasukan bersenjata yang lalu lalang menyediakan kebutuhan para pengungsi. Kata ayahku mereka mendapatkan bahan-bahan makanan dari pertolongan yang diselundupkan melalui lorong bawah tanah yang terhubung dengan negara tetangga. Di luar masih sering terdengar desingan peluru atau bom berjatuhan.

Ayahku bercerita bahwa para pasukan bersenjata itu adalah Hamas. Saat masyarakat sipil berlindung dari serangan, merekalah yang berjuang di garda terdepan melawan Israel agar segera menghentikan serangannya. Ini adalah hari ke empat sejak serangan pertama dilancarkan. Kondisi ibuku semakin kritis, kami bergantian menjaganya. Adikku sudah sadar tinggal masa pemulihan. Segala emosi dalam hatiku berkecamuk, antara sedih, marah, takut, kesal, berkumpul menjadi satu.

"Ayah, aku ingin menjadi Hamas," kataku pada ayahku saat kami sedang duduk bersama menunggui ibu. Ayahku tersenyum, "nak, jika kau ingin jadi Hamas, jangan kau tinggalkan shalat berjamaah, berusahalah agar selalu berada di shaf terdepan. Jangan pula kau tinggalkan shalat malam. Lakukanlah berbagai ibadah sunnah dan jangan lemah. Kelak jika tiba saatnya kau akan tahu bagaimana mewujudkan keinginanmu itu."

*****

Pikiranku sedari tadi melayang mengingat-ingat peristiwa agresi militer Israel yang merenggut nyawa ratusan orang termasuk ibuku. Sejak saat itu aku menjalankan nasehat ayahku dan terus menuntut ilmu untuk menjadi seorang ahli hadits. Dan sekarang di sinilah aku, sebagai salah satu bagian dari Hamas. Saat ini aku berdiri di puncak gunung yang kami daki hampir setiap hari dengan membawa berkilo-kilo beban untuk melatih fisik kami. Kami berlatih menembak, menyusun strategi, bela diri, dan berbagai latihan fisik yang menjadikan kami semakin kuat. Ibadah kami kepada Allah menjadi target utama yang tak boleh ditinggalkan, karena tujuan kami berjuang dan berjihad hanya untuk meninggikan kalimatNya.

Hari ini kudengar kabar dari salah satu pasukan kami, di Ghouta umat muslim sedang menjadi korban serangan militer Bassar Assad. Seketika darahku mendidih, kekejaman mereka harus dilawan. Pejuang-pejuang Islam harus bangkit dan menegakkan keadilan. Umat Islam tidaklah lemah, mereka yang menjadi korban sejatinya syahid menghadap RabbNya. Namun sekali lagi, kebiadapan harus dilawan. Ghouta butuh Hamas.

#Onedayonepost #ODOPbatch5 #Tantangan6

8 komentar:

  1. Keren maak :)

    hafalan atau hapalan??
    settingnya bgus mak, tpi kurang ngefeel. Kalo cerpen ini dibuat atas tema songlit, we will not go down ataupun heartbeat. Feelnya lbih dlem maak.

    tp over all, keren mak. Udah mau kluar dri zoba nyaman : D

    BalasHapus
  2. Keren, tantangan langsung dijawab salut

    BalasHapus
  3. Karena hari ini banyak berita pembantaian di ghouta pak😭

    BalasHapus