Selasa, 03 April 2018

Perjalanan Hidupku


Aku terlahir dalam sebuah keluarga yang sederhana. Kedua orang tuaku bekerja. Bapak adalah seorang pegawai proyek swasta yang bekerja sebagai operator alat berat seperti escavator, bulldozer, grader, wheel loader, forklift, dsb. Beliau sudah mengikuti berbagai perusahaan di  penjuru Indonesia mulai dari pertambangan batu bara, pembangunan waduk, hingga pembangunan jalan tol. Tak jarang beliau baru pulang empat bulan sekali, atau bahkan lebih lama lagi. Sampai-sampai saat dulu aku dilahirkan, bapak tak sempat mendampingi. Ibu adalah PNS BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) yang berdinas di kantor kabupaten Kediri. Beliau adalah wanita tangguh yang mengurus keluarga sekaligus bekerja dari pagi hingga sore hari. Meskipun sering ditinggal bapak pergi bekerja di luar kota, beliau tetap sabar mengurus kami anak-anaknya di tengah kesibukannya bekerja di kantor. Aku mempunyai seorang adik laki-laki yang usianya berjarak empat tahun denganku. Kami kakak beradik yang jarang akur, watak kami yang sama-sama keras menjadikan kami tak mau mengalah satu sama lain, hal itu sering membuat pusing ibu.

Kami sekeluarga tinggal di sebuah kamar kos. Dalam ruangan berukuran 3x4 m itu diletakkan berbagai macam perabotan yang dibutuhkan oleh keluarga kami. Ada sebuah lemari kayu yang diletakkan di salah satu sudut kamar. Lalu sebuah kasur busa yang ditegakkan jika sudah pagi, dan ditata kembali ketika kami hendak beristirahat merebahkan badan sambil menonton televisi. Di sudut yang lain ada sebuah meja tempat meletakkan televisi. Di sebelahnya ada meja kecil tempat meletakkan makanan kami. Beruntung ibuku orang yang cinta kebersihan dan sangat rapi. Dengan sentuhan beliau kamar yang sejatinya sempit jadi terasa luas dan cukup untuk kami bertiga, atau berempat ketika bapak pulang. Kami menghabiskan hari-hari kami di kamar kos tersebut hingga aku SD kelas lima. Saat itu rumah yang dibangun perlahan oleh bapak di desa alhamdulillah telah jadi. Kami sekeluarga pun diboyong pindah dari kota Kediri ke desa Duwet, Wates, kabupaten Kediri.

Sejak kelas lima SD aku  melanjutkan sekolah di SD Duwet tak jauh dari rumah baru. Sementara ibu setiap hari harus menempuh jarak hampir sekitar 20 km dari desa ke kota untuk bekerja. Adikku yang saat itu baru kelas dua SD sempat dibully di sekolah baru, sehingga orang tua kami memutuskan adik kembali bersekolah di kota pulang pergi bersama ibu. Aku menikmati kehidupan di desa, karena banyak petualangan di sana. Tak jarang teman dekatku mengajak untuk menggembalakan kambing, mencari kayu, atau bahkan berenang di sungai, seru kan :). Pernah suatu hari kami berdua sedang asyik berenang di sungai yang dalamnya sepinggang anak-anak. Airnya agak kecoklatan dan arusnya tidak seberapa deras. Sambil berenang kami bermain sandiwara, dan ketika sedang asyik-asyiknya bermain tiba-tiba melintas seekor ular hijau di samping kami. Sontak kami keluar dari air lantas lari terbirit-birit. Ohya, seorang adik bayi lahir tak lama setelah keluarga kami pindah ke rumah baru. Adek bayi diasuh oleh seorang asisten rumah tangga yang dulu pernah mengasuh adik pertamaku. Setiap hari ibu pulang menjelang maghrib karena jarak yang jauh dari desa ke kota. Walau demikian segala keperluanku dan adik bayi telah disiapkan oleh asisten rumah tangga kami. Akupun menikmati hari-hari sebagai seorang anak desa.

*****
Menjelang ujian nasional SD, ibu berkata, "Nak, di kota ada sekolah SMP ter-favorit yang menjadi tujuan anak-anak pintar dari penjuru Kediri." Anak desa inipun tertarik dengan perkataan ibu, "Ohya? Bagaimana sekolahannya, Bu?" tanyanya dengan mata berbinar-binar. "Sekolahnya tentu bagus sekali, tapi nilaimu harus tinggi jika ingin masuk di sekolah itu," ujar ibu. Anak desa yang selalu rangking tiga besar di kelas tentu saja merasa tertantang dan ingin membuktikan bahwa dirinya bisa masuk di sekolah favorit itu. Diapun mulai belajar lebih rajin untuk mempersiapkan ujian nasional yang tidak lama lagi. Tak lupa dirinya juga selalu beribadah dan memohon kepada Allah agar dimudahkan dalam upaya masuk di sekolah favorit kota Kediri. Usaha keras yang diiringi dengan doa terus dilakukan hingga saat ujian nasional yang ditunggu-tunggu pun tiba. Karena begitu bersemangat sampai-sampai dia berangkat kepagian. Ujian nasional kala itu dilaksanakan di SD lain yang jaraknya agak jauh dari rumahnya. Karena takut terlambat si anak desa berangkat ketika hari masih gelap, dikayuh sepeda ke SD di desa sebelah. Dan sesampainya di sana sekolah masih sepi, dia hanya berkawankan tukang sapu, krik krik.

Bersambung

#Tantangan1(Deskripsi)
#KelasFiksi
#ODOPBatch5

23 komentar:

  1. Rajin banget nulisnya. Aku belum satupun.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe..biar segera dikoreksi, kalo ini sudah bener fiksi belum๐Ÿค”

      Hapus
  2. Dari kacamata saya. Blm terasa deskripsi diri ataupun suasana desa.

    Semangat mbak..Seneng tuh sekarang cik gu uncle mau komen

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hmm siaapp mbak Wid, trimakasih krisannya๐Ÿ˜Š

      Hapus
  3. Ibu yang luar biasa. Tangguh. 20km setiap hari?

    BalasHapus
  4. Salam kenal dari Kediri juga kak✋

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal, sekarang saya jadi orang surabaya mbak๐Ÿ˜

      Hapus
  5. Salam kenal dari Kediri juga kak✋

    BalasHapus
  6. Cerbung euy jadi inget syarat kelulusan ๐Ÿ˜‚

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi..kita lihat akan bertahan sampai sejauh apa๐Ÿ˜‚

      Hapus
  7. Berangkat pagi sekali emang yang paling asyik~ ><

    BalasHapus
  8. Kok aku malah mau ngakak pas terakhirnya..krik..krik..๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚

    BalasHapus
  9. Ini udah mulai bagus nih tulisannya

    BalasHapus
  10. Ikut deg-deg an pas adegan ular lewat ๐Ÿ™ˆ

    BalasHapus