Dini hari itu aku terbangun sebelum adzan subuh
berkumandang, segera kuambil handuk dan bergegas mandi meskipun hawanya masih
sangat dingin. Sambil menggigil kubersiap mengenakan seragam, begitu terdengar
adzan aku segera menunaikan shalat. Agar tak lemas nanti di sekolah kusempatkan
sarapan beberapa suap nasi lauk telur. Begitu semua siap, aku segera berpamitan
kepada nenek dan berangkat dengan jalan kaki menuju jalan raya sekitar 300
meter dari rumah nenekku. Saat itu di luar masih gelap dan jalan sangat sepi,
aku berlari-lari kecil ketika melewati jembatan tanpa penerangan. Jalanku sudah
mirip orang lomba jalan cepat, bagaimanapun juga ada rasa takut menyesap dalam
hati. Hingga akhirnya sampai juga aku di pinggir jalan raya, di depan gang ada
sebuah masjid besar dengan penerangan yang cukup sehingga aku memilih berdiri
di seberangnya untuk mengusir rasa was-was. Tak perlu menunggu lama hingga
sebuah angkutan umum lewat di depanku, sebenarnya angkutan umum itu sudah
banyak terisi penumpang yang akan berangkat bekerja di pabrik Gudang Garam,
namun pak kernet masih saja memaksakan penumpang untuk berhimpitan agar bisa
mengangkut lebih banyak. Aku pasrah saja dihimpit oleh penumpang lain yang
rata-rata adalah ibu-ibu. Walaupun harus berhimpitan, aku bersyukur laju
kendaraan umum itu cukup cepat sehingga aku tak perlu khawatir terlambat.
Perjalanan memakan waktu sekitar setengah jam, aku segera
turun setelah membayar tarif yang terbilang murah untuk anak sekolah sepertiku.
Kulihat halaman sekolahku lengang, apa aku kepagian? Ah aku hanya perlu masuk
untuk memastikan, segera saja kulangkahkan kaki melewati halaman sekolah menuju
kelas 1 E yang letaknya di belakang. Ternyata sudah banyak temanku yang datang,
dan mereka disuruh berbaris di depan kelas. “Hai, kamu jangan santai-santai,
ayo cepat berbaris!” tiba-tiba seorang senior berteriak kepadaku, akupun segera
berlari menuju barisan. Wajah teman-teman sekelasku yang belum semua kukenal,
terlihat ketakutan, begitupun aku mulai merasa tak nyaman. Aku melihat sekeliling,
para siswa baru berbaris di depan kelasnya masing-masing, belum banyak yang
datang karena memang ini belum menunjukkan pukul enam sebagaimana instruksi
yang diberikan senior di hari sebelumnya. Satu per satu kawan-kawanku
berdatangan disambut teriakan agar segera berbaris dan menggunakan perlengkapan
yang sudah diinstruksikan. Begitu pukul enam, para senior mulai semakin garang,
teriakan mereka menggelegar bagaikan singa lapar. Kawan-kawanku yang terlambat
diminta membuat barisan baru dan disana mereka diomeli dengan berbagai
kata-kata kasar.
Melihat pemandangan ini jantungku berdetak tak karuan, kepala
berdenyut-denyut demi mendengar teriakan yang saling bersautan. Para senior
mulai mencari-cari kesalahan, mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki, tak ada
yang luput dari pandangan mereka.
“Lihat baju yang kau kenakan! Rok di atas lutut begini, mau
jadi apa kau, hah?!” semprot seorang senior perempuan kepada salah satu teman
sekelasku. Yang diteriaki tentu saja mengkerut takut, ada beberapa yang masih bisa
menjawab begitu mendapatkan bentakan di sebelah telinganya, ada juga yang
mendadak bisu. Jika mulut tertutup rapat maka akan disusul bentakan
selanjutnya, “kamu bisu ya? Kenapa tak menjawab pertanyaanku?!” dan jika yang
ditanya masih diam saja, maka runtutan bentakan selanjutnya akan berhamburan
menggedor-gedor gendang telinga. Berbagai macam subjek yang mereka jadikan
bahan omelan, ada yang karena rambut gondrong, ada karena lupa membuat keplek,
ada yang karena sepatu, dasi, dan banyak hal lagi. Dalam hati aku berpikir,
untuk apa semua ini? Jika untuk membuat disiplin apa harus seperti ini? Mental
apa yang akan terbangun dengan bentakan dan cacian macam ini? Apa tak ada cara
lain?
“Hai, kamu melamun ya?!” tiba-tiba sebuah bentakan diarahkan
kepadaku, membuyarkan pikiranku. Duh, salah apa aku? “Lihat saya! kamu sedang
mikirin apa, hah?!” Tanya senior laki-laki yang sudah berdiri tepat di depanku.
“Tidak, tidak ada, Kak,” jawabku tergagap. “Temanmu dibentak-bentak kau diam
saja. Kamu nggak ingin membela mereka?” sebuah pertanyaan menggelitik diajukan
kepadaku. Haduh, aku harus bagaimana? Apa aku harus jadi pahlawan kesiangan
yang menyelamatkan satu per satu temanku? Aish siapa aku? “Ingin, Kak!” duh,
aku ngomong apa? Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Dan
selanjutnya akupun menuju salah satu kawan yang sedang diomeli habis-habisan
oleh seorang senior. Kucoba beradu argumentasi demi menyelamatkan kawanku, dan
kulihat ada beberapa kawanku yang bernasib sama. Dan kejadian absurd macam ini
berlanjut hingga kami semua dikumpulkan kembali untuk berbaris di depan kelas
masing-masing. Aku menghela nafas lega, setelah berbaris kamipun diminta masuk
ke kelas, menduduki bangku masing-masing.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling kelas yang akan menjadi
tempat belajarku selama setahun ke depan. Sebagaimana kelas pada umumnya, ada
bangku panjang yang berjajar di sertai dua kursi di belakang setiap bangku.
Karena aku termasuk bertubuh tinggi maka aku diletakkan di bangku belakang agar
tidak menutupi kawan-kawanku jika kududuk di depan. Seorang kawan perempuan
duduk di sampingku, kami berkenalan, namanya Yanti. Kami mengobrol singkat
sebelum seorang senior memberikan instruksi di depan kelas, memperkenalkan
lingkungan sekolah kami. Aku menyimak dengan antusias, bagaimanapun juga akan
kuhabiskan tiga tahun masa hidupku belajar di sekolah ini. Ah, aku tak sabar
lagi!
#KelasFiksi
#ODOPBatch5
Alhamdulillah udah masuk sekolah.
BalasHapusIya ih,buat jengkel aja para senior itu, tapi, terkadang emang mereka punya maksud baik, namun caranya buat sakit hati ey. Hehehe... #untungdulujadiseniorgakgalakbanget😂😇
Alhamdulillah..iyaa harusnya caranya dibenahi. Macam gitu bikin adik2nya ingin balas dendam di tahun berikutnya. Dan begitu seterusnya, sampai jadi lingkaran setan😂
HapusMOS ya... Sekarang nggak boleh ada MOS lagi..🤔
BalasHapusAlhamdulillah kalo sudah g boleh😅
HapusMos oh mos, saya juga ngalamin di bentak2 begitu, hiks😩
BalasHapusIya mbak, smp, sma, dan kuliah😂
Hapus