Sabtu, 21 April 2018

Perjalanan Hidupku (part 7)


Dini hari itu aku terbangun sebelum adzan subuh berkumandang, segera kuambil handuk dan bergegas mandi meskipun hawanya masih sangat dingin. Sambil menggigil kubersiap mengenakan seragam, begitu terdengar adzan aku segera menunaikan shalat. Agar tak lemas nanti di sekolah kusempatkan sarapan beberapa suap nasi lauk telur. Begitu semua siap, aku segera berpamitan kepada nenek dan berangkat dengan jalan kaki menuju jalan raya sekitar 300 meter dari rumah nenekku. Saat itu di luar masih gelap dan jalan sangat sepi, aku berlari-lari kecil ketika melewati jembatan tanpa penerangan. Jalanku sudah mirip orang lomba jalan cepat, bagaimanapun juga ada rasa takut menyesap dalam hati. Hingga akhirnya sampai juga aku di pinggir jalan raya, di depan gang ada sebuah masjid besar dengan penerangan yang cukup sehingga aku memilih berdiri di seberangnya untuk mengusir rasa was-was. Tak perlu menunggu lama hingga sebuah angkutan umum lewat di depanku, sebenarnya angkutan umum itu sudah banyak terisi penumpang yang akan berangkat bekerja di pabrik Gudang Garam, namun pak kernet masih saja memaksakan penumpang untuk berhimpitan agar bisa mengangkut lebih banyak. Aku pasrah saja dihimpit oleh penumpang lain yang rata-rata adalah ibu-ibu. Walaupun harus berhimpitan, aku bersyukur laju kendaraan umum itu cukup cepat sehingga aku tak perlu khawatir terlambat.

Perjalanan memakan waktu sekitar setengah jam, aku segera turun setelah membayar tarif yang terbilang murah untuk anak sekolah sepertiku. Kulihat halaman sekolahku lengang, apa aku kepagian? Ah aku hanya perlu masuk untuk memastikan, segera saja kulangkahkan kaki melewati halaman sekolah menuju kelas 1 E yang letaknya di belakang. Ternyata sudah banyak temanku yang datang, dan mereka disuruh berbaris di depan kelas. “Hai, kamu jangan santai-santai, ayo cepat berbaris!” tiba-tiba seorang senior berteriak kepadaku, akupun segera berlari menuju barisan. Wajah teman-teman sekelasku yang belum semua kukenal, terlihat ketakutan, begitupun aku mulai merasa tak nyaman. Aku melihat sekeliling, para siswa baru berbaris di depan kelasnya masing-masing, belum banyak yang datang karena memang ini belum menunjukkan pukul enam sebagaimana instruksi yang diberikan senior di hari sebelumnya. Satu per satu kawan-kawanku berdatangan disambut teriakan agar segera berbaris dan menggunakan perlengkapan yang sudah diinstruksikan. Begitu pukul enam, para senior mulai semakin garang, teriakan mereka menggelegar bagaikan singa lapar. Kawan-kawanku yang terlambat diminta membuat barisan baru dan disana mereka diomeli dengan berbagai kata-kata kasar. 

Melihat pemandangan ini jantungku berdetak tak karuan, kepala berdenyut-denyut demi mendengar teriakan yang saling bersautan. Para senior mulai mencari-cari kesalahan, mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki, tak ada yang luput dari pandangan mereka.
“Lihat baju yang kau kenakan! Rok di atas lutut begini, mau jadi apa kau, hah?!” semprot seorang senior perempuan kepada salah satu teman sekelasku. Yang diteriaki tentu saja mengkerut takut, ada beberapa yang masih bisa menjawab begitu mendapatkan bentakan di sebelah telinganya, ada juga yang mendadak bisu. Jika mulut tertutup rapat maka akan disusul bentakan selanjutnya, “kamu bisu ya? Kenapa tak menjawab pertanyaanku?!” dan jika yang ditanya masih diam saja, maka runtutan bentakan selanjutnya akan berhamburan menggedor-gedor gendang telinga. Berbagai macam subjek yang mereka jadikan bahan omelan, ada yang karena rambut gondrong, ada karena lupa membuat keplek, ada yang karena sepatu, dasi, dan banyak hal lagi. Dalam hati aku berpikir, untuk apa semua ini? Jika untuk membuat disiplin apa harus seperti ini? Mental apa yang akan terbangun dengan bentakan dan cacian macam ini? Apa tak ada cara lain?

“Hai, kamu melamun ya?!” tiba-tiba sebuah bentakan diarahkan kepadaku, membuyarkan pikiranku. Duh, salah apa aku? “Lihat saya! kamu sedang mikirin apa, hah?!” Tanya senior laki-laki yang sudah berdiri tepat di depanku. “Tidak, tidak ada, Kak,” jawabku tergagap. “Temanmu dibentak-bentak kau diam saja. Kamu nggak ingin membela mereka?” sebuah pertanyaan menggelitik diajukan kepadaku. Haduh, aku harus bagaimana? Apa aku harus jadi pahlawan kesiangan yang menyelamatkan satu per satu temanku? Aish siapa aku? “Ingin, Kak!” duh, aku ngomong apa? Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Dan selanjutnya akupun menuju salah satu kawan yang sedang diomeli habis-habisan oleh seorang senior. Kucoba beradu argumentasi demi menyelamatkan kawanku, dan kulihat ada beberapa kawanku yang bernasib sama. Dan kejadian absurd macam ini berlanjut hingga kami semua dikumpulkan kembali untuk berbaris di depan kelas masing-masing. Aku menghela nafas lega, setelah berbaris kamipun diminta masuk ke kelas, menduduki bangku masing-masing.

Kuedarkan pandangan ke sekeliling kelas yang akan menjadi tempat belajarku selama setahun ke depan. Sebagaimana kelas pada umumnya, ada bangku panjang yang berjajar di sertai dua kursi di belakang setiap bangku. Karena aku termasuk bertubuh tinggi maka aku diletakkan di bangku belakang agar tidak menutupi kawan-kawanku jika kududuk di depan. Seorang kawan perempuan duduk di sampingku, kami berkenalan, namanya Yanti. Kami mengobrol singkat sebelum seorang senior memberikan instruksi di depan kelas, memperkenalkan lingkungan sekolah kami. Aku menyimak dengan antusias, bagaimanapun juga akan kuhabiskan tiga tahun masa hidupku belajar di sekolah ini. Ah, aku tak sabar lagi!

#KelasFiksi
#ODOPBatch5

6 komentar:

  1. Alhamdulillah udah masuk sekolah.
    Iya ih,buat jengkel aja para senior itu, tapi, terkadang emang mereka punya maksud baik, namun caranya buat sakit hati ey. Hehehe... #untungdulujadiseniorgakgalakbanget😂😇

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah..iyaa harusnya caranya dibenahi. Macam gitu bikin adik2nya ingin balas dendam di tahun berikutnya. Dan begitu seterusnya, sampai jadi lingkaran setan😂

      Hapus
  2. MOS ya... Sekarang nggak boleh ada MOS lagi..🤔

    BalasHapus
  3. Mos oh mos, saya juga ngalamin di bentak2 begitu, hiks😩

    BalasHapus