Jumat, 30 Maret 2018

Cinta Tanpa Syarat



Seperti biasa menjelang pukul 21.00 saya menjadi alarm untuk Hafidza 5y 6m untuk bergegas tidur agar esoknya tidak terlambat bangun.
"Fidza ayo bobok, baca doa dulu sebelum bobok, ayo kalo nggak segera bobok besok terlambat bangun", ujar saya.
"Aku nggak mau sekolah, temanku nggak mau mainan sama aku", ujarnya mulai mengajukan berbagai alasan agar tidak sekolah. Dulu saya sempat galau, tapi semakin ditelusuri permasalahannya adalah kurangnya skill komunikasi anak saya. Karena fidza sudah terpapar youtube dan menyukai tayangan berbahasa inggris, dia jadi kurang kosakata bahasa indonesia. Tidak jarang dia mengenal kosakata inggris lebih dulu sebelum bahasa indonesianya. "Umi candid candy itu bahasa indonesianya apa", tanyanya suatu hari. Saya sempat berpikir keras, ternyata dia mengacu pada permen kegemarannya. "Cotton candy ta maksudnya?", ujar saya membenarkan pengucapannya, bagaimanapun juga dia mendengarkan dari youtube, jadi seringkali pengucapannya salah. "Cotton candy itu permen kapas", di lain kesempatan saat saya tes Fidza, ternyata dia tidak tau bahwa blue itu biru, black itu hitam, pink itu merah muda. Dan ternyata hal ini berimbas pada komunikasinya dengan teman-temannya, dan membuatnya malas ke sekolah.

Terlepas dari itu kami masih berusaha agar Fidza mau ke sekolah, dan seringkali ketika pulang dia berkata, "Umi aku suka sekolah, temanku suka mainan sama aku", kata-kata itu membuat saya lega. Tapi ternyata siklus berulang, saat waktunya sekolah dia kembali malas dan mengajukan beribu alasan. Ah memang orang tua dituntut untuk memiliki stock sabar berlebih ya..

Seperti halnya malam ini ketika menjelang tidur Fidza mengajukan argumennya lagi, "Kalo aku nggak bawa boneka snacking lily, Dzakiya nggak mau mainan sama aku. Kalo Dzakiya nggak mau mainan sama aku, aku gak mau sekolah", ujarnya lagi. "Iya besok bangun pagi-pagi lalu bonekanya dicari ya", saya mencoba menenangkan. "Kalo besok pagi sudah nggak sempat, aku nggak mau sekolah", tegasnya nggak mau kalah. Hal ini diulang dan diulang hingga waktu menunjukkan pukul 22.00. Saya lelah, saat itu kebetulan Hanna sudah tidur. Lalu saya pun berbaring di samping Fidza yang tidur di kasur bawah ditemani abinya. "Ayo sini umi kelonin", ujar saya. Saya peluk anak saya, lalu olehnya tangan saya dipeluk dengan erat.

Saya pun terharu, sudah lama saya tak bisa mengeloninya karena sibuk dengan adiknya yang bayi. Saya tidur di kasur atas dengan bayi Hanna, sedangkan Fidza di bawah bersama abinya. Tak terasa butiran hangat membasahi pipi saya, teringat hari-hari yang terlewat tanpa pelukan erat dan kecupan sayang. Fidza pun sesenggukan, kami sama-sama menangis seolah baru terpisah sekian lama. "Yayang kenapa nangis?", tanya suami di samping Fidza yang sedang menghadap laptop untuk lembur mengerjakan proposal. "Umi lama gak ngeloni Fidza", ujar saya, lalu saya kecup kening Fidza sambil mengucap, "Maafkan umi ya nak, umi kurang perhatian sama kamu".

Fidza menangis semakin keras, "Umi, jika umi meninggal bagaimana?", saya terhenyak, entah kenapa tiba-tiba Fidza menanyakan hal itu. "Jika sudah waktunya umi meninggal Fidza doakan umi ya, Fidza jadi anak yang shalehah ya, agar doanya didengar Allah", jawab saya. "Aku nggak mau umi meninggal, huaaaa", ujarnya lagi. "Fidza berdoa ya sama Allah, agar umi dikasih sehat. Fidza jangan lupa bersyukur sama Allah sudah dikasih umur dan kesehatan buat abi dan umi sehingga bisa menemani Fidza sampai sekarang", ucap saya sesenggukan, dia begitu takut kehilangan kami. Saya mencoba mencairkan suasana, "Mbak Fidza mau susu?", dia mengangguk, lantas saya keluar kamar membuatkannya susu.

Saat saya kembali, suami saya berkata, "Tadi Fidza tanya, kalo abi dan umi meninggal aku bagaimana?". Saya serahkan susu kepadanya yang segera diteguknya hingga kandas. "Fidza belajar mandiri ya, kalo abi dan umi meninggal kan masih ada mama dan papa(tante dan omnya), ada uti, dan ada Allah yang selalu menemani kita. Allah itu kekal, jadi Fidza harus bergantung hanya kepada Allah", jelas saya kepada Fidza.

"Mbak Fidza selalu taat sama Allah ya, jika kita semua selalu taat sama Allah, kelak setelah kita semua meninggal, di akhirat kita akan dikumpulkan di surga. Surga itu tempat yang sangaat indah, tempatnya orang-orang yang taat", jelas saya mencoba menanamkan tauhid kepada Fidza. Fidza mengangguk, entah dia paham atau tidak, tapi seringkali anak yang kita pandang belum tau apa-apa memiliki pemahaman di luar ekspektasi kita.

"Aku nggak bisa doa buat abi umi", ujar Fidza lagi. Saya melihat abinya di depan laptop mengusap matanya, saya tau dia pun terharu tapi berusaha menyembunyikannya. Saya pernah mengajarkan Fidza doa ini, tapi kali ini saya harap dia memahami makna dari doa, "rabbighfirli waliwaa lidaia warhamhumaa kamaa rabbayaani saghiiraa", ujar kami menjawab pertanyaannya. "Tolong doakan kami ya nak, karena doa Fidza bisa menolong abi umi saat di akhirat nanti", ujar saya lagi. Kami berpelukan erat, "Umi, maafkan Fidza ya", ujarnya. "Maafkan umi juga ya nak"

Ah, sekali lagi kami belajar kepadamu anakku, wahai guru kecilku. Kau ajarkan kepada kami untuk mencinta, bagaimana mencintai tanpa syarat. Trima kasih, bidadari kecilku.

Surabaya, 8 januari 2018

Dari umimu yang masih belajar menjadi orang tua yang baik untukmu

4 komentar:

  1. Semakin dewasa diri, semakin jarang kedekatan itu, rindu pelukan bunda. 😭😭😭

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener mbak,kadang ada rasa malu karena sudah dewasa,namun sejatinya kita tetap anaknya,maka peluklah seelum mereka dipanggil Sang Pencipta..

      Hapus
  2. Terharu bunda 😭😭😭😭

    BalasHapus