Rabu, 31 Januari 2018

Aku dan Maduku


"Caca! Sudah mama bilang, jangan suka pukul adik!", teriakku pada sulungku. Gadis kecil itu menangis lalu segera berlari menuju Nesya, maduku. Nesya segera sibuk menenangkan anakku, hatiku makin panas lalu segera aku masuk ke kamar dan kukunci dari dalam. Buliran hangat mengalir di pipiku, inginku berteriak tapi kutahan, ku ambil bantal lalu kulempar sekeras-kerasnya di atas kasur. Ah, ingin ku melampiaskan kekesalanku dengan membanting piring dan gelas, tapi kupikir buat apa? Malah aku sendiri nanti yang repot membersihkan.

Jika kupikir-pikir ini memang kesalahanku sendiri, ngapain juga sok-sokan mengijinkan suami menikah lagi. Sekarang ketika menjalani kehidupan setelah dipoligami, hampir tiap hari aku jadi uring-uringan. Penyesalan terbesarku adalah, ketika aku marah tanpa sadar anak-anak menjadi korban. Akupun makin tergugu, kututup mukaku dengan bantal agar suara tangisku tak kedengaran.

Namanya Nesya, wanita cantik yang kini menjadi maduku. Dia memiliki banyak kelebihan, dia sabar, dia pandai, dia menyenangkan, dia lihai mengurus rumah, dan dia suka memasak. Sungguh aku minder dibuatnya, rasa cemburu di dadaku tak tertahankan, sakit rasanya.

Tak berapa lama suara motor terdengar, suamiku pulang. Hari ini adalah hari giliran Nesya, jadi aku memilih tetap di kamar. Kemudian pintu kamarku diketok, akupun beranjak membukakan. Suamiku masuk, di tangannya ada kresek, biasanya berisi makanan. "Kok merengut gitu suaminya datang", ujarnya menggoda. "Biarin, ngapain juga papa kesini? Ini hari kan giliran Nesya", jawabku sekenanya. "Emang papa gak boleh kesini? Kata Nesya mama ngambek, dia bilang papa boleh sama mama hari ini", ujarnya mencoba menghiburku.

"Ini papa bawa makanan, makan dulu yuk", ujar suamiku. Akupun beranjak keluar kamar, kulihat anak-anak main bersama Nesya. Kuambil piring dan segelas air, lantas kembali ke kamar. Suamiku membawa batagor, kami memakannya bersama. Sebungkus lagi diletakkan di meja makan, buat Nesya dan anak-anak.

Menjelang malam, anak-anak sudah kutidurkan. Suamiku berbaring dalam kamar sambil memainkan handphone nya. "Pa, mama mau ngomong bentar", ujarku padanya. "Iya kenapa?", jawabnya sambil meletakkan handphone. "Mama ngerasa berat menjalani hidup sejak adanya Nesya, mama sering uring-uringan dan anak-anak selalu menjadi korban", ujarku mencoba memaparkan. "Iya, terus?", suamiku menjawab penasaran. "Tidakkah papa sadari kalo mama tertekan? Sepertinya mama g sanggup melanjutkan hidup seperti ini, Pa", suamiku mengernyitkan dahinya.

"Jadi mama minta bagaimana?", ujar suamiku meminta kejelasan. "Mama minta cerai saja, Pa. Mama gak minta papa ceraikan Nesya karena dia wanita baik. Sepertinya papa lebih bahagia bersamanya. Lagipula sudah 10 tahun mama merasakan bahagia bersama papa. Mungkin memang sudah waktunya wanita lain merasakan hal sama", jawabku sambil menahan air mata. "Papa gak mau!", jawabnya tegas. "Kenapa pa? Papa mau mama stress?", aku mulai mendesak. "Kenapa mama kasih papa pilihan sulit?", suamiku mulai emosi. "Papa juga memberi mama pilihan sulit saat mau poligami", jawabku padanya.

"Sudahlah Pa, hidup ini penuh pilihan. Mama ikhlas berpisah sama papa, asal anak-anak ikut mama. Akhir pekan mama tetap antar anak-anak ke rumah", ujarku mencoba memberi tawaran. "Beri papa waktu, akan papa pikirkan", jawabnya mulai tenang.

To be continued

#TantanganODOP2 #Onedayonepost #ODOPbatch5

4 komentar:

  1. Huaaaa tema cerita yang berat. Baru mulai membaca langsung sesak di dada.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa sering kepikiran gimana kalo suami poligami, bikin galau mbak, jadi kutulis aja..hehe

      Hapus
  2. g kebayang kl lihat di kehidupan nyata, ku tak sanggup kalo kata lagu mah

    BalasHapus