Sabtu, 27 Januari 2018

Menerima Takdir Tuhan


Kriing… kriing…
Bunyi telepon berdering, aku segera mengangkatnya. "Assalamualaikum", ujarku memulai percakapan. "Waalaikumsalam. Nduk, Ca, iki bude Ti", terdengar suara serak di seberang. "Nggeh bude Ti, teng nopo?", ada perasaan tak enak mulai menelusup di dadaku.
"Nduk sampeyan sabar ya, maringene sampeyan dijemput nyang omahe ma'e..seng sabar ya nduk", ujar suara di seberang diiringi isakan. Tangisku pun tak dapat kutahan, "Teng nopo tho bude?", tanyaku sambil tergugu. "Ibu e sampeyan nduk, mau kecelakaan, pokok sampeyan seng sabar ya, maringene dipapak", jelas bude Ti sesenggukan lantas ditutupnya sambungan telepon. Aku menangis sejadi jadinya, adik-adikku heran. "Opo o mbak?", tanya mereka mulai ikut merasakan kesedihan. Aku menyeka air mata dan menahan tangisanku seketika, "Gak, gak popo, maringene awak dewe nyang omahe ma'e ya", ujarku sambil terisak.

Tak berapa lama jemputan datang, kedua adikku dibawa terlebih dahulu. Aku bilang, aku akan menyusul bersama paklik dan bulik yang kebetulan rumahnya bersebelahan. Aku butuh shalat untuk menenangkan diri. Sebenarnya aku sudah shalat maghrib dengan tergesa, tapi saat ini aku butuh shalat lebih khusyuk agar pikiranku tenang. Maka kuulang lagi shalatku, berjamaah dengan keluarga paklik. Setelah shalat kami bergegas berangkat naik motor, dengan dibonceng paklik di depan, bulik di tengah, dan aku di belakang, kami pun berangkat ke rumah ma'e, panggilanku kepada nenek dari ibuku.

Di tengah perjalanan ada ambulans di belakang, bulik memegangiku seketika, khawatir aku pingsan. Pikiranku kalut, segala pikiran buruk memenuhi kepalaku,tapi aku masih berusaha tenang. Setibanya di rumah nenek aku langsung digiring di kamar. Di sana ada kedua adikku, kupeluk mereka lalu akupun berkata, "Seng sabar ya le, nduk", ujarku mencoba tabah. Paklik juga menasehati kami, bahwa segala makhluk hidup pasti akan mati, dan tempat kita kembali adalah kepada Allah semata.
Sebagai kakak tertua aku tak mau adik-adikku sedih dan kehilangan harapan, oleh karena itu aku menahan tangisanku di depan mereka. Akupun beranjak ke ruang depan, para tetangga sudah berkumpul sejak aku datang. 

Di ruang tamu ibuku dibaringkan, beliau sudah wafat. Aku mendekat, kulihat wajah ayu ibuku sudah pucat, ada luka goresan di wajahnya yang sedikit bengkak sebelah, sedikit darah keluar dari hidung dan telinga. Aku elus ibuku mulai dari kepala, badan, hingga telapak kakinya. Tidak banyak luka di sana, memang luka fatal hanya di kepala, luka dalam yang membuat ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Dadaku sesak, bulir bulir air mata berjatuhan tak dapat kutahan. Ibuku tercinta telah tiada, beribu khawatir semakin membuncah, jika tanpa ibu, aku, bapak, dan adik-adik bagaimana?

"Inna lillahi wa inna ilaihi roojiuun", di posisiku sekarang doa ini begitu berat terucap. Kita semua diciptakan oleh Allah, dan hanya kepada-Nya kita akan berpulang. Sabar itu ketika pertama kali kita mendapat musibah dan kita tawakkal, mengembalikan semua kepada-Nya.  Akupun berusaha meresapi setiap makna sabar, dan sungguh sabar dan shalat menjadi penolongku untuk tetap tegar menghadapi kenyataan. Aku turut serta memandikan ibu, lantas pak Mudin mengkafaninya. Kami mendirikan shalat jenazah lantas mengaji bersama. Malam itu aku ikut membaca al quran disamping jenazah ibu yang telah terbungkus kafan.

Pagi tadi ibu mengantar bapak berangkat kerja naik bus ke Surabaya. Lantas ibu berboncengan dengan paklik adik keempat ibu naik sepeda motor menuju Mojokerto rumah bulik adik ketiga ibu. Pulang dari Mojokerto melewati Pare, ibu dibonceng paklik mencoba mendahului angkutan umum. Tak diduga ada sebuah motor yang dikemudikan oleh orang yang belakangan diketahui dalam keadaan mabuk, ikut mendahului motor yang dinaiki ibu dan paklik. Setir motor disenggol hingga kehilangan keseimbangan, tubuh mereka berdua pun terhempas ke pinggir jalan. Paklik datang malam itu dengan penuh luka, beliau menangis meminta maaf padaku. Akupun berkata padanya, tak ada yang perlu dimaafkan, ini semua sudah menjadi takdir Allah Yang Maha Kuasa.

Bapak datang di pagi keesokan harinya dengan sedih tak tertahan, beliau menangis keras tak menduga istrinya tercinta dipanggil Allah begitu cepat. Aku SMA kelas 1, adik keduaku kelas 6 SD, dan adik terkecilku masih TK. Saudara bapak memeluknya dan mencoba menasehati bapak agar tabah, aku hanya bisa mendekat dan kami pun berpelukan menangis bersama.

Aku ikut mengantar jenazah ibu ke pemakaman, kawan-kawanku berdatangan. Mereka menggandeng tanganku menuju makam, aku berjalan sambil menahan sedih di dada. Kulihat prosesi pemakaman, perlahan tubuh ibu diturunkan ke lubang makam. Aku perhatikan saat tubuhnya ditutupi tanah, dan aku tersadar itulah saat terakhir aku bisa melihat ibuku tersayang.

Setelah doa dipanjatkan para pelayat satu per satu pulang, aku menjadi orang terakhir di makam. Aku mencoba memanjatkan doa-doa untuk ibuku, aku tahu segala amal ibu terputus kecuali tiga hal, salah satunya adalah doa anak sholih. Maka sejak saat itu aku berjanji berikhtiar menjadi anak sholih demi kedua orang tuaku dan senantiasa mendoakan. Allahummaghfirlaha warkhamha wa aafiihi wa'fuanha. Yaa Allah, terimalah ibuku tercinta di sisi-Mu. Lapangkanlah kuburnya, berikanlah kepadanya nikmat kubur tak terbatas. Mudahkanlah hisabnya, dan kumpulkanlah kami di surga-Mu kelak. Aamiin Yaa Robbal 'Aalamiin.

#TantanganODOP1 #Onedayonepost #ODOPbatch5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar